02/09/08

Guru Dalam Tuntutan Profesi

(Dimuat dalam majalah Educare No.02, Edisi Juni 2008)
Oleh : FX. Gus Setyono*



Guru adalah seorang pendidik. Keberadaannya tidak bisa lepas dari suatu proses yang disebut pendidikan. Baik yang berkaitan dengan profesinya dalam mendidik manusia, maupun pendidikan bagi dirinya sebagai manusia yang sepanjang hayatnya akan mengalami proses pembelajaran.

Untuk dapat berperan sebagai pendidik yang baik, guru mesti memiliki dasar minat di bidang pendidikan (berjiwa pendidik). Di dalam dirinya tertanam keinginan untuk mencurahkan seluruh hidupnya demi kepentingan pendidikan. Jiwa seorang pendidik didominasi oleh sifat “memberi” (dalam arti berbakti) dan bukan “menerima”. Walaupun dengan memberikan segala ilmu dan kemampuan guru menerima remunerasi, namun apa yang diperoleh tidak akan mengalahkan kesadaran dirinya untuk membaktikan hidup bagi kepentingan pendidikan.

Profesi guru tidak sama dengan profesi lainnya. Profesi ini tidak dapat menjanjikan kelimpahan materi. Hasil yang diterima sering tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Karenanya tidak berlebihan kalau dalam diri guru melekat julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Kenyataan tersebut mesti disadari oleh mereka yang ingin terjun dalam profesi guru. Supaya tidak muncul kekecewaan karena tidak sebandingnya antara harapan dan kompensasi yang diperoleh. Sebab, bila tidak ada kesadaran akan konsekwensi dari profesi ini, dikhawatirkan muncul akibat-akibat yang dapat merugikan kegiatan pendidikan. Merebaknya aktivitas-aktivitas yang kurang pantas dilakukan oleh seorang guru merupakan akibat dari kurangnya kesadaran ini.


Etika Profesi
Profesi terkait dengan masalah profesionalisme. Mereka yang menekuni suatu profesi dituntut untuk bisa profesional. Termasuk profesi guru. Namun wajah dunia kependidikan di Tanah Air memperlihatkan banyaknya guru yang kurang profesional menjalani profesinya.


Beberapa kasus telah membuktikan, tidak jarang guru bermasalah dalam hal kompetensi sebagai seorang pendidik. Ada yang bahkan berani menerabas etika profesinya. Bisa jadi karena terkontaminasi kepentingan-kepentingan pribadi (biasanya adalah alasan kesejahteraan), ada guru yang kemudian melanggar kepatutan moral sebagai pendidik, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keberhasilan kegiatan pendidikan.

Beberapa aktivitas pelanggaran etika profesi dianggap sesuatu yang biasa. Contohnya adalah pemberian les privat (tanpa koordinasi dari pihak sekolah). Aktivitas ini bisa menyebabkan guru hanya sekedarnya dalam mengajar, dengan tujuan agar siswa yang merasa kurang dalam pelajaran meminta pelajaran tambahan secara pribadi kepadanya.

Harapan guru untuk memperoleh penghasilan tambahan dengan memberikan les secara pribadi tanpa disadari juga akan mengganggu kompetisi secara fair antar siswa. Sebab, dari sisi moral, guru yang memberikan les secara pribadi akan terbeban untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada siswa yang bersangkutan. Karena itu dalam perspektif etika profesi, seorang guru atau keluarganya tidak dibenarkan memberi les privat kepada siswa yang diajarnya. Kalaupun ada pelajaran tambahan mesti diberikan kepada semua siswa dengan koordinasi otoritas sekolah. Hal ini karena guru bertanggung jawab terhadap keberhasilan seluruh siswa yang diajarnya, bukan hanya bagi beberapa siswa yang orang tuanya mampu membayar les privat.


Profesionalisme Guru
Profesional berarti sebuah sikap yang ditunjukkan dengan kemampuan, pola pikir, cara kerja, rasa tanggung jawab yang terfokus pada suatu bidang yang sedang digeluti. Mereka yang profesional tidak akan mentolerir apapun yang bisa mengganggu pekerjaan. Tidak ada waktu baginya buat mengerjakan kepentingan-kepentingan pribadi saat melakukan tugas. Para profesional tidak suka menyalahkan orang lain atau sesuatu bila sedang menghadapi persoalan. Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk melakukan segala sesuatu. Sikapnya tetap konsisten menghadapi dan memecahkan masalah yang sedang dialami.

Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kecakapan mendidik dan dapat mengaplikasikannya untuk keberhasilan kegiatan pendidikan. Mereka mencurahkan segala kemampuan, upaya serta tanggung jawab demi keberhasilan pendidikan. Prinsip “berbuat yang terbaik bagi pendidikan” selalu menjadi inspirasi setiap aktivitasnya.

Profesionalisme menuntut beberapa kompetensi yang mesti dimiliki seorang guru. Berkaitan dengan ini, seorang guru sebaiknya memiliki kompetensi minimal sebagai berikut :
(1).Pengetahuan akademis
Pengetahuan ini perlu dimiliki untuk dapat memberikan kemampuan akademik kepada anak didik. Dalam memberikannya, guru mesti jujur dan tidak memihak. Pengetahuan yang diberikan harus murni dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Biarkan anak mendapatkan pengetahuan yang benar, tidak memihak kepada satu golongan maupun kelompok tertentu.
(2).Pengetahuan nilai-nilai
Untuk dapat konsisten menerapkan nilai-nilai luhur kepada anak didik, guru dituntut memiliki pengetahuan dan dapat menerapkan pada dirinya, nilai-nilai tersebut. Artinya, bila seorang guru ingin menanamkan sesuatu pada anak didik, perilakunya juga harus konsisten memberi contoh. Bila guru menanamkan nilai-nilai cinta kasih dan hormat pada sesama, maka dia juga harus memiliki kesabaran dalam mengajar. Kalau masalah kejujuran serta tanggung jawab yang ditanamkan, maka dirinya juga menjadi pribadi yang jujur dan bertanggungjawab. Nilai-nilai ini sangat penting sebagai landasan moral bagi keberhasilan ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu penanaman nilai-nilai tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan. Nilai-nilai yang mesti ditanamkan meliputi kasih pada sesama, kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, sikap pantang menyerah, sosialisasi, menghargai diri sendiri & orang lain, rendah hati, suka belajar dan keberanian mengkomunikasikan serta mewujudkan ide-ide
(3).Pengetahuan ilmu psikologi
Walaupun bukan psikolog, guru diharapkan memiliki pengetahuan tentang ilmu psikologi, agar tahu karakter dan permasalahan psikis seluruh anak didiknya. Dengan demikian, pada tingkatan tertentu, guru dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut psikis atau mental anak didiknya. Guru perlu mengenal berbagai keunikan karakter siswa untuk tujuan motivasi serta keberhasilan pendidikan setiap individu peserta didik. Guru juga harus tahu bagaimana cara membangkitkan motivasi anak untuk berkembang, tidak boleh terbelenggu dengan kondisi pendidikan pada zamannya, dan menganggap bahwa mendidik itu sama caranya dengan keadaan dirinya dimasa kecil. Perkembangan pengetahuan, termasuk bagaimana cara mendidik, tetap harus diikuti.
(4).Pengetahuan tambahan
Terkait kodratnya selaku manusia yang melakukan pembelajaran sepanjang hidupnya, guru juga mesti melakukan pengembangan bagi dirinya. Kualitas diri secara bertahap ditingkatkan guna membangun citra yang lebih baik. Sebagai pendidik, guru tidak boleh ketinggalan akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat. Termasuk perkembangan yang dahsyat di bidang TIK (teknologi informasi dan komunikasi), penting untuk selalu diikuti. Melalui penguasaan TIK, seorang guru lebih mudah mengakses berbagai pengetahuan, bahkan yang bersifat global. Wawasan terus bertambah karena berbagai informasi dari berbagai belahan dunia dapat diserap dengan mudah serta disampaikan kepada anak didik.


Sinergi Dengan Orang Tua
Perlu diimplementasikan secara serius, sinergi antara guru dengan orang tua siswa. Sinergi ini sebagai bentuk kerjasama secara mendalam, terarah dan kontinyu dalam menjalankan tahap-tahap proses mendidik anak.

Sinergi akan membuat orang tua dan guru saling melengkapi. Pendidikan terhadap seorang anak akan berjalan konsisten dan menghindarkan benturan persepsi. Antara guru dan orang tua tidak saling bertolakbelakang dalam menanamkan suatu pengetahuan. Adanya perbedaan pemahaman nilai serta inkonsistensi antara guru dan orang tua dalam menanamkan pengetahuan akan membuat anak bingung untuk memilih mana yang benar bagi dirinya.

Tidak adanya sinergi dapat mengakibatkan perbedaan pendekatan dan cara mendidik seorang anak. Sangat mungkin terjadi perbedaan kemampuan antara guru dan orang tua dalam mendidik. Sehingga dalam beberapa kasus muncul kejadian, dimana saat orang tua berusaha memotivasi atau membangun kemampuan seorang anak untuk berkembang, guru justru merusaknya dengan mengeluarkan kata-kata yang menjatuhkan mental, melemahkan motivasi ataupun menyinggung harga diri si anak. Atau bisa saja terjadi, saat di sekolah guru menanamkan nilai-nilai kasih sayang, namun begitu sampai di rumah anak menyaksikan perpecahan di dalam keluarga yang membuatnya kebingungan mana seharusnya yang dia terapkan dalam perilaku.

Kebingungan seperti ini dapat terjadi karena sosok guru dan orang tua merupakan sosok yang sangat berarti dan berperan penting bagi perkembangan jiwa anak. Perilaku dan didikan guru maupun orang tua berpengaruh sangat besar bagi perkembangan anak. Oleh sebab itu, sinergi serta konsistensi keduanya akan menentukan keberhasilan calon-calon penerus bangsa ini.

Dari seluruh pemaparan ini, dapat dipadatkan dalam satu kesimpulan, bahwa kompetensi, konsistensi dan kemampuan guru bersinergi dengan orang tua dalam mendidik anak, merupakan suatu tuntutan profesi guru masa kini agar pendidikan tidak menemui kendala atau tidak kehilangan makna.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa