03/12/12

SETIAP ANAK ADALAH “EINSTEIN”

Oleh : FX. Gus Setyono

Judul tulisan ini barangkali dianggap berkebalikan dengan pendapat sebagian orang yang selalu memberikan pengertian kepada para pendidik (khususnya orang tua), bahwa “setiap anak bukanlah Einstein”. Namun tulisan ini dipaparkan dari sudut pandang lain. Tulisan ini ingin menyampaikan bahwa setiap anak bisa sehebat Einstein.

Albert Einstein memang seorang jenius, dengan pandangan-pandangan yang mungkin oleh kebanyakan orang dianggap aneh. Pada saat mengajar di Princenton University (New Jersey), pernah dia memberikan soal-soal ujian yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kepada para muridnya. Ketika sang asisten menanyakan kepadanya kenapa hal itu dilakukan, dia menjawab bahwa soalnya memang sama, tetapi jawabannya sudah berbeda bila dibandingkan tahun-tahun lalu.

Einstein ingin mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini tidaklah dapat dipecahkan dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Setiap waktu berganti, maka jawaban atau pemecahan atas suatu masalah membutuhkan pemikiran atau ide-ide yang baru. Sebuah pandangan yang mungkin tidak pernah terlintas di dalam benak orang kebanyakan saat itu. Keunikan yang dimiliki Einstein seperti inilah yang membuat dia dianggap sungguh hebat.

Karena itu tidak mengherankan kalau kemudian banyak orang tua maupun kalangan pendidik lainnya yang (sadar ataupun tidak) mengidam-idamkan anak-anak mereka bisa seperti Einstein. Bisa menjadi seorang ahli fisika, matematika dengan pendapat-pendapat yang juga hebat. Tidak sedikit orang tua atau guru yang berupaya agar anak-anak mereka bisa pintar di bidang ilmu-ilmu pasti, tanpa melihat apa sebenarnya kemampuan putera-puteri mereka.

Sebagian dari kita mungkin juga pernah mengalami, bagaimana dulu para orang tua menginginkan kita menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Lalu apa reaksi kita? Sebagian mungkin senang dan kemudian benar-benar berhasil, karena kebetulan keinginannya sama dengan keinginan orangtua. Namun sebagian mungkin merasa terkungkung dan kurang bisa maksimal berkarya, karena cita-citanya berseberangan dengan harapan orang tua.

Karena itu kata kunci yang dapat digunakan untuk menjadi orang tua atau pendidik yang bijaksana adalah : mengubah “apa yang kita inginkan” menjadi “apa yang diidam-idamkan anak”. Apa yang menjadi cita-cita anak harus menjadi cita-cita dan harapan kita. Dengan begitu kita bisa mendukung penuh apa yang menjadi impian anak di masa depan.

Jangan pernah kita memaksa anak kita menjadi seperti Einstein, atau menjadi apapun yang ada dalam benak kita. Sebaliknya, penuhilah benak kita dengan segala cara, rencana dan upaya agar apa yang menjadi cita-cita anak-anak bisa terwujud. Kemudian tugas kita berikutnya hanyalah mendukung, memberi motivasi dan pandangan-pandangan positif, sehingga anak-anak tidak tanggung-tanggung dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Apapun mimpi itu, sekalipun kelihatan tidak masuk akal.

Biarlah anak-anak kita sukses menjalani kehidupan ini dengan menjadi apapun yang mereka inginkan. Anthony Robbins begitu bijak berkata bahwa kesuksesan adalah melakukan apa yg ingin anda lakukan, kapanpun anda inginkan, dimanapun anda inginkan, bersama siapapun anda inginkan dan sebanyak apapun anda inginkan.

Kisah-kisah Sukses Pemimpi

Steven Spielberg awalnya adalah seorang pemimpi. Khayalannya sungguh tidak masuk akal. Namun mimpi Spielberg mampu menelurkan film-film box office yang menghasilkan trilyunan Rupiah. Henry Ford juga seorang pemimpi dan pekerja keras. Idenya membuat mesin mobil V-8 (delapan silinder) semula juga dianggap tidak mungkin. Tapi dia membuktikannya dengan keberhasilan menciptakan mesin V-8 pertama kali di dunia.

Ada baiknya kita juga mempertimbangkan apa yang dikatakan Jack Zufelt, bahwa seseorang akan mengeluarkan “kekuatan raksasa” yang selama ini tertidur kalau dia telah menemukan keinginan terdalamnya. Karena itu bantulah anak-anak untuk menemukan “apa yang benar-benar mereka inginkan” (bukan apa yang kita inginkan). Sekalipun keinginan itu kita anggap rendah atau sepele.

Seorang Ibu Theresa keinginannya hanyalah melayani dan membantu orang lain. Dia bahkan rela memandikan orang-orang kusta. Tetapi beliau menjadi orang besar karena keinginannya diwujudkan dengan sepenuh hati dan total. Begitu juga Nelson Mandela yang akhirnya menerima Nobel Perdamaian tahun 1993, padahal mimpinya sangat sederhana. Mandela yang pemberani dan pemaaf hanya menginginkan penghapusan diberlakukannya pembedaan warna kulit di negaranya.

Para orang tua mungkin marah dan kecewa bila mengetahui anak mereka bercita-cita menjadi pemain golf. Tetapi seorang Tiger Woods membuktikan bahwa meskipun kecintaannya hanya terhadap olah raga golf, dia berhasil menjadi atlet golf legendaris termuda (31 tahun) yang mampu meraih penghasilan US $ 1.000.000.000.

Joe Girard juga mempunyai kemampuan yang mungkin disepelekan orang lain. Dia hanya memiliki kemampuan memberikan perhatian kepada orang-orang di sekitar. Kemudian kemampuan itu diramu dan dikembangkan menjadi sebuah konsep : mengutamakan pelanggan. Akhirnya dia tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai penjual mobil terbanyak (sampai ribuan unit) dalam kurun waktu hanya beberapa tahun.

Barangkali banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa lezatnya ayam goreng yang berlabel KFC yang sudah menyebar ke seluruh dunia, dulu begitu keras ditawarkan oleh seorang Kolonel Sanders yang hanya memiliki kelebihan : pantang menyerah. Dia bahkan telah menawarkan ide gilanya itu kepada 1.009 investor, hingga akhirnya diterima dan menjadi restoran ayam yang terkenal.

Kisah-kisah sukses yang dimuat dalam buku “Champion, 101 Tip Motivasi & Inspirasi Sukses Menjadi Juara Sejati”, tulisan Darmadi Darmawangsa (2008) tersebut menggambarkan bahwa untuk menjadi sukses, seseorang tidak perlu menjadi Einstein. Tetapi setiap orang nantinya bisa menjadi sehebat Einstein, dengan bidang dan kemampuan yang mungkin berbeda.

Motivasi Dan Pikiran Positif

Ketika kita sudah berhasil menemukan apa yang benar-benar menjadi keinginan terdalam si anak, maka tugas kita berikutnya adalah berupaya semaksimal mungkin agar anak kita tidak setengah-setengah dalam mencapainya.

Sebagai pendidik kita mesti bisa mengatur strategi dan menciptakan cara-cara yang kreatif agar anak-anak kita mampu menggapai impiannya. Bukan hanya menyediakan akses dengan memenuhi segala kebutuhan materi, tetapi juga menyiapkan mental sang anak agar benar-benar siap menjadi manusia “hebat” sekelas Einstein, atau bahkan lebih hebat dari Einstein.

Karena itu ada baiknya kita memikirkan, mulai saat ini tidak lagi memaksa anak kita untuk pintar pada pelajaran matematika, IPA, IPS atau apapun yang kita inginkan. Sebab itu semua adalah keinginan (ego) kita, bukan keinginan si anak. Kalau anak menyukai bahasa, perkuatlah kemampuan berbahasanya, siapa tau nantinya dia menjadi penulis yang hebat atau orator dan politikus ulung. Bila anak kita suka menggambar, siapa tau besok dia menjadi desainer kelas dunia atau pelukis sekelas Picaso..? Maka persiapkanlah segala bekal yang dibutuhkan untuk mencapainya.

Penuhilah hati dan pikiran anak-anak kita dengan motivasi, serta pikiran-pikiran positif yang membangun diri. Hindarkan kata-kata negatif yang dapat menghancurkan harga diri dan impian mereka. Mulailah membangun masa depan anak dengan hal-hal yang sederhana, misalnya dengan menyebutnya : “anak hebat”, atau sebutan lain yang membesarkan tekad mereka. Meskipun mereka tidak juara kelas, tidak pintar matematika atau fisika ataupun tidak fasih berbahasa Inggris

Niscaya anak-anak kita kelak akan menjadi manusia yang benar-benar hebat. Mereka bisa menjadi “Einstein” di bidang melukis, “Einstein” di bidang pelayanan, “Einstein” di bidang olah raga, atau “Einstein” pada bidang-bidang yang lain. Mereka menjadi manusia-manusia yang jenius di bidangnya. Mereka akan sukses meraih apa yang mereka inginkan.

Jadi, kenapa kita tidak mulai membangun masa depan mereka dengan hal yang sederhana? Mulailah memanggil anak-anak kita dengan sebutan “anak hebat”, apapun bakat yang mereka miliki.***

23/03/10

Learning Society : Transformasi Peradaban Menuju Masyarakat Madani

Oleh : FX. Gus Setyono - www.batiktradisijawa.blogspot.com
(Dimuat dlm Educare bulan Maret 2010)
Bulan September 2009 yang lalu, Prof. H. Nur Ahmad Fadlil Lubis menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu komoditi dalam perdagangan bebas sesuai ketetapan Badan Dunia WTO. Hal ini menjadi tantangan berat dunia pendidikan, karena terbukanya kesempatan bagi pihak asing untuk membuka perguruan tinggi di Indonesia (Harian Global, 11/09/2009).

Kalau sinyalemen ini benar, akan banyak lembaga pendidikan di Tanah Air yang terancam eksistensinya. Sebab, tidak akan ada peraturan di negara ini yang bisa membendung masuknya pihak asing untuk membuka lembaga-lembaga pendidikan, bahkan pada jenjang dasar dan menengah.

Era perdagangan bebas merupakan konsekwensi dari terciptanya satu komunitas global dari masyarakat dunia. Setiap individu menjadi bagian dari komunitas ini, yang bisa berkomunikasi, berinteraksi, belajar dengan siapapun dan dengan cara apapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Semua penemuan baru teknologi informasi dan komunikasi akan menjadi sarana untuk mengukuhkan eksistensi manusia di muka bumi ini. Pada perkembangannya, siapapun yang menguasai teknologi (terutama informasi dan komunikasi) akan menguasai dunia.

Hal ini dikarenakan siapapun yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi akan mampu berbuat apapun, termasuk dalam berbagi dan mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu, sebanyak mungkin yang dia inginkan. Berbagai produk teknologi informasi serta komunkasi seperti internet, software, DVD/VCD, e-mail, website atau blog (bahkan yang gratis) akan tersedia 24 jam setiap harinya.

Setiap orang akan memiliki kesadaran dan akses untuk belajar dimanapun, kapanpun, dengan cara apapun, mengenai apapun dan kepada siapapun, tidak lagi melulu melalui bangku sekolah. Pada titik inilah transformasi peradaban masyarakat masuk pada era masyarakat pembelajar (learning society).

Pada era masyarakat pembelajar sekolah bukan lagi satu-satunya – dan bahkan bukan yang dominan sebagai – penyelenggara pendidikan. Peran sekolah sebagai tempat penyemaian ilmu pengetahuan lambat laun akan terdistorsi bila sekolah tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan peradaban masyarakat tersebut. Sekolah akan ditinggalkan dan menjadi lembaga yang “nothing” dalam memberikan pendidikan, bila terpaku pada pola-pola tradisional dalam sistem manajemennya.

Demikian juga dengan para gurunya. Kalau para guru tetap bersikukuh pada cara-cara konservatif dalam mentransfer pengetahuannya (misalnya : mengajar dengan ceramah lisan yang membosankan), mereka juga akan menjadi guru yang tidak punya peran apa-apa. Sehingga pertanyaan yang menarik adalah apa yang mesti dilakukan oleh para guru dalam menyesuaikan diri dengan transformasi peradaban ini? Lebih jauh lagi bagi keluarga dan masyarakat yang juga memiliki tanggungjawab dalam pendidikan, apa yang mesti dipersiapkan agar mereka tetap memiliki fungsi sebagai pendidik pada era masyarakat pembelajar?

Guru Sebagai Fasilitator
Guru perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan zaman yang disebut masyarakat pembelajar. Kalau guru tidak mampu mempersiapkan dan menyesuaikan diri, maka lambat laun fungsi guru akan tersingkir oleh berbagai perangkat teknologi modern.

Persiapan tersebut meliputi persiapan keahlian dan mental. Keahlian perlu ditingkatkan terutama dalam kompetensi mengajar. Mereka mesti konsisten meng-up grade keahliannya dalam mengajar, dalam menguasai IT, serta meng-up date pengetahuan yang dimiliki agar selalu ada pada level di atas peserta didik. Sedangkan secara mental, setiap guru perlu menyadari bahwa zaman sudah berubah. Jangan sampai guru menjadi patah semangat atau rendah diri dengan kemajuan teknologi yang ada.

Guru juga harus menyesuaikan diri dengan mau menerima hadirnya teknologi-teknologi baru yang modern. Mereka tidak bisa kemudian menolak hadirnya teknologi dengan dalih teknologi dapat merusak moral atau alasan lain. Bagaimanapun juga, pesatnya perkembangan teknologi terutama informasi dan perangkat komunikasi tidak akan terbendung lagi. Kalau tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini, guru akan ketinggalan.

Misalnya saja dari motivasi belajar peserta didik. Pada masa learning society peserta didik akan dengan mudah mengakses internet atau menyerap berbagai pengetahuan melalui perangkat audio visual (DVD, VCD, Software pendidikan) yang sudah pasti lebih menarik dibandingkan memperhatikan seorang guru yang berceramah di depan kelas. Artinya, agar siswa menjadi tertarik dengan teknik mengajar guru, maka yang bersangkutan harus juga menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Kalau perlu guru harus bisa mengenalkan teknologi yang lebih canggih serta pengetahuan yang lebih lengkap kepada peserta didik.

Pada era masyarakat pembelajar, peran guru sebagai fasilitator transfer ilmu pengetahuan, menjadi suatu keniscayaan. Eksistensinya tidak lagi menjadi subjek dalam transfer ilmu pengetahuan. Karena itu guru mesti bisa mengambil dan memanfaatkan semaksimal mungkin peran tersebut, dengan memfasilitasi dan menyediakan suasana yang kondusif bagi penyerapan pengetahuan dari media apapun dan kemudian mengembangkannya melalui metode-metode diskusi aktif.

Satu lagi peran guru yang tidak tergantikan oleh perangkat teknologi secanggih apapun, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai luhur kehidupan. Etika, moral dan berbagai nilai kehidupan seperti kejujuran, gotong royong, toleransi, kepedulian, saling menolong, cinta kasih kepada sesama, hanya bisa ditanamkan dengan keteladanan. Dengan demikian guru harus mampu mengambil peran sebagai penyemai nilai-nilai kehidupan ini semaksimal mungkin.

Keluarga Dan Masyarakat
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari pilar pendidikan di Tanah Air ini? Hampir sama dengan guru. Keluarga dan masyarakat dituntut untuk dapat menyediakan berbagai sarana serta suasana yang kondusif agar kesempatan generasi muda untuk mengeksploitasi berbagai ilmu pengetahuan dapat terwujud.

Keluarga dan masyarakat tidak boleh membatasi setiap individu (termasuk anak-anak mereka sendiri) untuk mengakses berbagai pengetahuan. Keluarga dan masyarakat hanya boleh mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan berbagai perangkat teknologi untuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan amoral.

Keluarga dan masyarakat mesti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap generasi muda untuk meraup informasi atau ilmu pengetahuan yang ada di berbagai belahan bumi ini. Biarkan anak-anak mengembangkan dirinya semaksimal mungkin tanpa terbatasi, asal bersifat positif. Upaya menangkal penyalahgunaan teknologi hanya boleh dilakukan dengan pengawasan yang intensif terhadap aktivitas dan hasil dari penggunaan teknologi. Misalnya dengan cara mendampingi pada saat anak mengakses internet, terutama kalau kegiatan itu tidak dilakukan di rumah tetapi di tempat-tempat penyedia jasa sewa internet (WARNET).

Masyarakat perlu mengambil action dengan sesegera mungkin melakukan treatment (penyadaran) terhadap berbagai penyimpangan perilaku moral yang terjadi di masyarakat. Termasuk didalamnya secara aktif menghimbau dan ikut mengawasi para pengelola WARNET agar pengguna jasa internet tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan yang bersifat negatif. Kalau perlu melaporkan kepada pihak berwajib bila ada WARNET yang mengizinkan konsumennya mengakses atau men-download situs-situs porno.

Masyarakat Madani
Namun ada yang lebih penting lagi bagi masyarakat. Selain fungsinya sebagai pendidik, dia juga berperan sebagai peserta didik. Satu proses yang tidak bisa dihindarkan dari era masyarakat pembelajar adalah pendidikan seumur hidup (long life education), yakni suatu proses pendidikan yang tidak terputus sepanjang hidup manusia.

Karena itu seluruh anggota masyarakat mesti siap untuk menjalani proses ini. Masyarakat dituntut mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada dan memanfaatkannya sebagai media pembelajaran. Masyarakat juga mesti sanggup menjadikan segenap peristiwa dalam kehidupannya sebagai proses belajar dalam dirinya. Learning society menuntut partisipasi aktif masyarakat untuk mewujudkan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat (Arya Hermawan, 2008).

Dengan demikian setiap anggota masyarakat akan semakin dewasa, maju intelektualitas dan kebudayaannya, serta meningkat integritas, kesadaran berbangsa dan bermasyarakatnya. Sehingga terwujudlah sebuah masyarakat madani (civil society) seperti yang dicita-citakan.***

06/01/10

Menyeimbangkan Nilai-Nilai Humaniora


Oleh : FX. Gus Setyono
(Educare Edisi Desember 2009)

Dalam pendidikan humaniora, semua upaya yang bertujuan menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi (humanior) perlu dilakukan. Artinya semua unsur atau nilai yang menjadikan manusia memiliki harkat dan martabat dan lebih mempunyai rasa kemanusiaan, mesti ditanamkan kepada peserta didik.

Pendidikan humaniora memberikan akses kepada peserta didik untuk dapat mengenal, menyerap, dan menerapkan nilai-nilai yang dapat menjadikan dirinya 'dimanusiakan' serta 'memanusiakan' orang lain. Eksistensi individu yang mencapai taraf 'dimanusiakan' dan 'memanusiakan' inilah yang menjadi tanda bahwa seseorang telah mencapai kebebasannya. Karena itu bisa dikatakan bahwa pendidikan humaniora juga merupakan pendidikan yang membebaskan.

Pendidikan humaniora akan sempurna mencapai tujuannya bila semua unsur humaniora diberikan secara seimbang. Namun seringkali kegiatan pendidikan hanya menekankan sebagian aspek, yakni aspek kepandaian. Realitanya kegiatan pendidikan lebih suka mengasah kecerdasan intelektual dibandingkan kecerdasan emosional dan spiritual. Sampai saat ini praksis pendidikan lebih banyak menjejalkan berbagai ilmu pengetahuan teoritik. Peserta didik diperlakukan sebagai ‘disket’ yang dianggap mampu meyimpan memori berupa informasi-informasi pengetahuan, daripada dituntun dengan nilai-nilai keluhuran budi, etika-moral, perjuangan serta pemahaman spiritual yang dalam.
Ketidakseimbangan ini bisa berakibat pada terbentuknya produk pendidikan yang mirip robot atau disket; bukan 'manusia'. Hanya pendidikan humaniora yang sempurna yang dapat menghasilkan peserta didik yang lebih manusiawi; memiliki harkat dan martabat, serta mampu 'memanusiakan' orang lain. Pendidikan humaniora yang sempurna akan menggerakkan kesadaran manusia bahwa dirinya adalah manusia bebas, mampu menggunakan kebebasannya, sekaligus tahu batas-batas kebebasannya itu.

Kesadaran Akan Kebebasan
Menyadarkan individu bahwa dirinya memiliki kebebasan berarti membuat mengerti secara sadar bahwa setiap manusia memiliki derajat dan harga diri yang sama di mata Tuhan. Karenanya kemampuan, potensi atau talenta setiap manusia tidak boleh dibelenggu atau ditekan oleh orang lain. Semua berhak mengeksplorasinya dengan cara selalu mengembangkan diri, memacu prestasi, berkarya maksimal demi membangun peradaban, serta mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Setiap manusia mesti menyadari bahwa dirinya bukanlah robot atau mesin yang selalu bertindak atas perintah tuannya, diperlakukan sekehendak hati tenaga dan pikirannya, serta selalu menjadi objek pembodohan oleh orang lain. Apalagi sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna manusia tidak boleh ditindas semena-mena dan tidak adil, diperas seperti sapi perah.

Manusia juga harus selalu memiliki motivasi untuk berkarya di dalam kehidupan meskipun dirinya memiliki keterbatasan fisik dan mental. Mempunyai mental yang kuat untuk berkembang, walaupun tinggal di daerah terisolir dan pedalaman yang sulit dijangkau. Keterasingan serta keterbatasan fisik dan mental tidak boleh menjadi belenggu bagi manusia.

Kesadaran bahwa dirinya memiliki kebebasan tidak akan terbentuk bila peserta didik hanya dijadikan objek dalam kegiatan pendidikan. Diposisikan selalu pasif, dijejali dengan informasi-informasi pengetahuan tanpa memiliki kesempatan untuk bersikap kritis.
Para peserta didik perlu dipacu agar memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengemukakan pendapat dan gagasan, yang merupakan energi dari kebebasan. Kegiatan pendidikan yang berhasil menanamkan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berarti telah membangun pondasi mental pantang menyerah terhadap keadaan atau belenggu yang membelit gerak kehidupannya. Mereka dibentuk untuk bisa mandiri dan mempunyai kepercayaan diri tinggi dalam mengatasi segala persoalan kehidupan.

Kecerdasan Intelektual
Setelah menyadari kebebasannya, manusia perlu dibekali kemampuan untuk bisa menggunakan kebebasannya. Kemampuan tersebut dibentuk dengan menanamkan berbagai pengetahuan, ketrampilan, daya nalar serta nilai-nilai yang dapat mendorong kemauan berusaha dan kreativitas. Peserta didik diasah kecerdasan intelektual dan keahliannya.

J.Drost (2002) pernah menuturkan bahwa teras kematangan kecerdasan intelektual adalah kemampuan bernalar dan bertutur kata yang telah terbentuk. Jadi, seseorang yang “mampu” menggunakan kebebasannya selain memiliki ciri terampil, kreatif dan berkemampuan untuk berkarya atau bekerja, dia juga mempunyai kemampuan bernalar serta bertutur kata yang baik.

Mencetak produk pendidikan yang demikian tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan teoritis yang kurang menyentuh kehidupan nyata peserta didik. Praktek dengan lebih mendekatkan antara teori-teori ilmu pengetahuan dengan pemecahan persoalan-persoalan dalam realitas kehidupan perlu lebih diintensifkan, agar peserta didik juga mampu atau tidak gamang dalam menghadapi persoalan.
“Ruang” untuk mengembangkan kreativitas anak sangat dibutuhkan, baik di dalam maupun di luar area sekolah. Anak senang menjelajahi dan melakukan sesuatu dengan cara berbeda. Karena itu pengembangan kreativitas tidak bisa dibatasi hanya di lingkungan sekolah saja. Anak perlu didorong atau diarahkan untuk menggunakan imajinasinya dan mempraktekkan kemampuan kreatifnya dengan cara yang leluasa (bebas-luas), agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir fleksibel dan meningkatkan kepercayaan diri (Ali Nugraha & Neny Ratnawati, 2003).

Dengan demikian fasilitator pembangunan kreativitas, ketrampilan dan keahlian, kemandirian serta kecerdasan intelektual ini tidak bisa hanya diserahkan kepada para guru. Orang tua, masyarakat dan pemerintah perlu mendukung program ini dengan penyediaan ruang-ruang pengembangan kreativitas anak, seperti taman bermain dan belajar, arena pengenalan profesi, perpustakaan umum atau sarana lainnya.

Mental kemandirian serta kreatif perlu ditumbuhkan ke para peserta didik, karena mental tersebut dapat membentuk manusia yang dapat memberdayakan dirinya dalam perjuangan hidup. Dengan demikian mereka akan merdeka dari berbagai belenggu seperti : kebodohan dan keterbelakangan, penindasan dan ketidakadilan, serta ketidakberdayaan secara ekonomi dan sosial.
Manusia yang berdaya juga akan terbebas dari kungkungan pemikiran-pemikiran sempit bersifat eksklusif dan fanatisme suku, agama dan ras, yang cenderung merugikan karena dapat menimbulkan friksi. Manusia yang berdaya tidak mudah terpancing dan terseret arus eksklusifme dan sektarian yang gampang menyulut benturan sosial yang menghancurkan.

Kecerdasan Emosional Dan Spiritual
Kemampuan untuk menggunakan kebebasan perlu diimbangi dengan kemampuan untuk mengetahui batas-batas kebebasannya. Sebab setiap manusia mempunyai misi menjaga keselarasan dan keharmonisan sistem kehidupan. Sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa peran dan bantuan orang lain, manusia terikat dalam jaringan antar individu. Sehingga mereka perlu memahami nilai-nilai keluhuran budi, etika-moral, sosial, hukum dan keadilan yang berlaku, dan kemudian mampu menerapkannya sebagai “pagar” dalam mengekspresikan kebebasan. Tanpa “pagar” manusia akan menjadi mahluk yang liar tanpa peradaban.

Untuk itu, manusia mesti memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan ini bisa diasah melalui pendidikan nilai-nilai. Pendidikan nilai sejak dini terutama dilakukan oleh orang tua melalui keteladanan dalam kehidupan keluarga, yang diserap oleh kemampuan intuitif anak-anak. Orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai luhur kejujuran, kesederhanaan, kelemahlembutan, kesabaran, toleransi, cinta pada sesama dan musyawarah.

Dalam uraian yang hampir sama, J.Darminta, SJ (2006) menyampaikan bahwa dalam praksis pendidikan nilai anak-anak mesti dibantu untuk memupuk dan memperoleh keutamaan-keutamaan yang membuat mereka sungguh manusia, seperti : kesetiaan, kejujuran dan ketulusan, iman, kuasa diri, keteguhan dan kebaikan.
Keteladanan memiliki peranan penting dalam pendidikan nilai, bukan pengetahuan teoritis. Karenanya beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan nilai akan berhasil diajarkan bila si pendidik juga memberikan teladan yang baik dan contoh nyata. Saat ini, pendidikan agama yang diharapkan menjadi basis penanaman nilai-nilai luhur di sekolah terjebak pada penghafalan sejarah, tokoh dan hukum-hukum agama, dan minim penekanan pada praksis nyata dan peneladanan perilaku toleran serta amal kepada sesama yang menderita (Juswan, 2006)2. Akibatnya, peserta didik menyerap pendidikan agama sebagai “pelajaran teori”, bukan bagaimana seharusnya berperilaku sebagai seorang yang ber-Tuhan.
Melalui penanaman nilai-nilai luhur yang menjadi “pagar” kebebasan, diharapkan keselarasan antara kebebasan dalam berkarya dengan upaya menjaga harmonisasi kehidupan antar manusia akan tercipta. Manusia memiliki harkat dan martabatnya, namun tetap dalam koridor yang diharapkan.

Keseimbangan
Dengan demikian, pendidikan humaniora yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya harus memasukkan secara lengkap unsur-unsur humaniora. Penekanan aspek keahlian, ketrampilan dan intelektual akan membuat manusia kehilangan rasa kemanusiaannya, menjadi barbar. Mereka menjadi tidak memiliki batas dalam menggunakan kebebasannya.
Hanya mengutamakan kecerdasan emosional dan spiritual serta nilai-nilai keluhuran juga akan membuat manusia terlalu polos dan mudah ditipu. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan kebebasannya, kehilangan harkat dan martabat sebagai manusia. Jadi, dalam pendidikan humaniora semua unsur humaniora harus diberikan secara seimbang.***

04/09/09

KETIDAKADILAN MENGAKSES INFORMASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN


Oleh : FX. Gus Setyono
(Educare, Agustus 2009)

Ketidakadilan Mengakses Informasi Dalam Dunia Pendidikan  ---- Pendidikan menjadi salah satu pilar dalam pembangunan SDM (sumber daya manusia) Indonesia. Pendidikan juga merupakan hak -- yang diatur dalam Undang-Undang -- bagi setiap warga negara. Karena itu tersedianya prasarana dan sarana pendidikan menjadi faktor penting bagi keberhasilan pembangunan SDM, dan otomatis juga kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh pemerintah selaku penanggungjawab keberhasilan pembangunan SDM di Tanah Air.

Namun kenyataannya prasarana dan sarana pendidikan belum merata dimiliki oleh sekolah-sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Apalagi menyangkut perangkat TIK (teknologi informasi dan komunikasi), banyak sekolah yang belum dapat menyediakannya. Padahal, TIK di era globalisasi seperti sekarang ini menjadi keharusan untuk dapat mengakses informasi dan menjalin komunikasi serta relasi secara cepat. Akibatnya terjadilan ketidakadilan mengakses informasi dalam dunia pendidikan kita.

Perangkat TIK menjadi kebutuhan setiap siswa dalam menyempurnakan proses belajar yang dijalani. Dengan teknologi ini, setiap siswa bisa meraup pengetahuan dari berbagai sumber di berbagai belahan dunia secara lebih lengkap dan cepat. Wawasan, jalinan komunikasi serta relasi akan terbentuk dengan penjelajahan informasi melalui media internet dan keaktifan pada media-media pertemanan di dunia maya.

Dapat disimpulkan bahwa secara umum siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang memiliki kelengkapan perangkat TIK mempunyai potensi menjadi lebih pintar dan berpengetahuan dibandingkan mereka yang bersekolah di tempat yang belum lengkap perangkat TIK-nya. Hal ini karena TIK menjadi sarana efektif untuk mengakses pengetahuan. TIK merupakan gudang ilmu atau sumber informasi yang dapat didulang setiap orang secara efektif.  Oleh sebab itu, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi pada sebagian lembaga pendidikan, maka ketidakadilan mengakses informasi dalam dunia pendidikan akan tetap terjadi.


Tiga Penyebab

Bila hanya sebagian sekolah saja di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang bisa menyediakan secara lengkap perangkat TIK, maka hanya sebagian siswa di Indonesia yang mempunyai akses informasi global dan lengkap. Hanya sebagian generasi muda Bangsa ini yang memiliki kesempatan lebih luas untuk menjadi lebih cepat pintar.

Oleh karenanya, bila dikaitkan dengan hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh bobot pengetahuan yang sama, hak untuk sama-sama menjadi cepat pintar, maka unsur keadilan menjadi tidak terpenuhi. Tetap saja akan terjadi ketidakadilan mengakses informasi dalam dunia pendidikan.

Kalau tidak semua siswa mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses informasi atau pengetahuan, menjalin komunikasi dan relasi, artinya tidak semua siswa mendapatkan haknya dalam kegiatan pendidikan di Indonesia. Jadi memang tidak adil bila kemudian pemerintah tidak mampu mengusahakan kelengkapan prasarana dan sarana pendidikan, khususnya perangkat TIK kepada seluruh sekolah yang ada di Tanah Air ini.

Setidaknya ada 3 (tiga) penyebab mengapa perangkat TIK tidak merata dimiliki lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah :
(1).Perbedaan karakter masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Tingkat kesadaran masyarakat di desa dan kota akan pentingnya TIK sangat berbeda. Masyarakat kota lebih peduli dan membutuhkan TIK daripada masyarakat desa. Mobilitas dan pola aktivitas masyarakat perkotaan yang cenderung lebih cepat serta agresif menyebabkan perangkat TIK yang dapat membantu mereka dalam mendapatkan informasi dan komunikasi secara lebih cepat serta efisien, menjadi lebih dibutuhkan.
Sementara masyarakat pedesaan masih melihat perangkat TIK sebagai sesuatu yang eksklusif dan sulit dijangkau. Mereka juga mengutamakan komunikasi dan penyampaian informasi secara lisan, dengan bertemu muka secara langsung, daripada melalui media internet. Masyarakat di desa masih mengaktifkan kurir desa atau penyampaian dari mulut ke mulut dalam menyebarkan informasi, dan bukannya melalui email atau sms (meskipun sekarang sudah banyak orang di desa yang memiliki handphone).
(2). Perbedaan status standard sekolah.
Pada satu sisi, perbedaan grade sekolah sangat positif, karena dapat memacu setiap sekolah untuk berprestasi agar bisa mencapai standard sekolah yang tinggi. Namun pada sisi lain grading ini menciptakan ketidakadilan bagi para peserta didik. Karena biasanya sekolah yang memiliki standard lebih tinggi, lebih lengkap pula prasarana dan sarana pendidikannya. Sebagai contoh, saat ini baru SDN berstandard internasional (SDNBI) yang sudah menggunakan TIK secara lengkap (Info SEA Edu Net; www.diknas.go.id). Makanya saya bersyukur ketika kemudian pemerintah menghapus standardisasi sekolah seperti ini.
Mestinya, sekolah-sekolah dengan standard yang masih rendah justru diberikan prasarana dan sarana yang lebih lengkap agar mampu mengejar ketertinggalan mereka dalam kegiatan pendidikan.
(3).Perbedaan kemampuan dana sekolah.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sekolah dengan dana lebih besar akan memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang lebih lengkap. Kenyataan ini nampak sekali pada sekolah-sekolah swasta. Akibatnya, setiap sekolah swasta akan berupaya menerapkan biaya pendidikan setinggi mungkin terhadap peserta didik, agar kebutuhan dana yang juga besar bisa tertutupi. Dengan demikian prasarana serta sarana yang bisa disediakan juga semakin lengkap.

Sudah barang tentu – bila sang buah hati tidak mampu masuk di sekolah negeri yang favorit -- para orang tua juga akan berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah swasta favorit dan bermutu yang notabene memiliki prasarana dan sarana yang juga lengkap. Berapapun biaya akan mereka keluarkan asal mampu secara ekonomi. Jadi, apakah kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik hanya menjadi milik orang-orang berduit?

Perhatian Serius Pemerintah
Mengingat pentingnya TIK dalam proses belajar dan mengajar, ada baiknya pemerintah lebih serius memperhatikan sekolah-sekolah yang belum memiliki kelengkapan perangkat TIK. Kenaikan anggaran pendidikan harus diikuti pula dengan pengalokasian dana yang lebih besar untuk penyediaan prasarana dan sarana, khususnya perangkat TIK, kepada sekolah-sekolah yang belum mampu.

Hal ini karena TIK merupakan sumber pengetahuan tak terbatas bagi setiap orang. Perangkat TIK menjadi alat untuk mendulang informasi, meraup ilmu dan menjalin komunikasi serta relasi yang sangat efektif bagi siswa.
Dengan membuka kran yang lebih besar anggaran pendidikan untuk sektor penyediaan prasarana dan sarana oleh pemerintah, maka pemerataan penyediaan perangkat TIK di sekolah-sekolah akan terwujud.
Ketidakadilan mengakses informasi dalam dunia pendidikan akan terkikis. Diharapkan, akses untuk memperoleh informasi atau pengetahuan dan menjalin komunikasi serta relasi juga akan sama dimiliki oleh setiap siswa di Tanah Air ini.

Kesamaan akses dalam mendapatkan pengetahuan merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan keadilan memperoleh pendidikan bagi semua Anak Bangsa. Semoga hal ini menjadi perhatian serius pemerintahan baru yang akan datang.***


Selain artikel ketidakadilan mengakses informasi dalam dunia pendidikan ini, silahkan baca juga artikel :
Setiap Anak Adalah Einstein

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa