06/01/10

Menyeimbangkan Nilai-Nilai Humaniora


Oleh : FX. Gus Setyono
(Educare Edisi Desember 2009)

Dalam pendidikan humaniora, semua upaya yang bertujuan menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi (humanior) perlu dilakukan. Artinya semua unsur atau nilai yang menjadikan manusia memiliki harkat dan martabat dan lebih mempunyai rasa kemanusiaan, mesti ditanamkan kepada peserta didik.

Pendidikan humaniora memberikan akses kepada peserta didik untuk dapat mengenal, menyerap, dan menerapkan nilai-nilai yang dapat menjadikan dirinya 'dimanusiakan' serta 'memanusiakan' orang lain. Eksistensi individu yang mencapai taraf 'dimanusiakan' dan 'memanusiakan' inilah yang menjadi tanda bahwa seseorang telah mencapai kebebasannya. Karena itu bisa dikatakan bahwa pendidikan humaniora juga merupakan pendidikan yang membebaskan.

Pendidikan humaniora akan sempurna mencapai tujuannya bila semua unsur humaniora diberikan secara seimbang. Namun seringkali kegiatan pendidikan hanya menekankan sebagian aspek, yakni aspek kepandaian. Realitanya kegiatan pendidikan lebih suka mengasah kecerdasan intelektual dibandingkan kecerdasan emosional dan spiritual. Sampai saat ini praksis pendidikan lebih banyak menjejalkan berbagai ilmu pengetahuan teoritik. Peserta didik diperlakukan sebagai ‘disket’ yang dianggap mampu meyimpan memori berupa informasi-informasi pengetahuan, daripada dituntun dengan nilai-nilai keluhuran budi, etika-moral, perjuangan serta pemahaman spiritual yang dalam.
Ketidakseimbangan ini bisa berakibat pada terbentuknya produk pendidikan yang mirip robot atau disket; bukan 'manusia'. Hanya pendidikan humaniora yang sempurna yang dapat menghasilkan peserta didik yang lebih manusiawi; memiliki harkat dan martabat, serta mampu 'memanusiakan' orang lain. Pendidikan humaniora yang sempurna akan menggerakkan kesadaran manusia bahwa dirinya adalah manusia bebas, mampu menggunakan kebebasannya, sekaligus tahu batas-batas kebebasannya itu.

Kesadaran Akan Kebebasan
Menyadarkan individu bahwa dirinya memiliki kebebasan berarti membuat mengerti secara sadar bahwa setiap manusia memiliki derajat dan harga diri yang sama di mata Tuhan. Karenanya kemampuan, potensi atau talenta setiap manusia tidak boleh dibelenggu atau ditekan oleh orang lain. Semua berhak mengeksplorasinya dengan cara selalu mengembangkan diri, memacu prestasi, berkarya maksimal demi membangun peradaban, serta mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Setiap manusia mesti menyadari bahwa dirinya bukanlah robot atau mesin yang selalu bertindak atas perintah tuannya, diperlakukan sekehendak hati tenaga dan pikirannya, serta selalu menjadi objek pembodohan oleh orang lain. Apalagi sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna manusia tidak boleh ditindas semena-mena dan tidak adil, diperas seperti sapi perah.

Manusia juga harus selalu memiliki motivasi untuk berkarya di dalam kehidupan meskipun dirinya memiliki keterbatasan fisik dan mental. Mempunyai mental yang kuat untuk berkembang, walaupun tinggal di daerah terisolir dan pedalaman yang sulit dijangkau. Keterasingan serta keterbatasan fisik dan mental tidak boleh menjadi belenggu bagi manusia.

Kesadaran bahwa dirinya memiliki kebebasan tidak akan terbentuk bila peserta didik hanya dijadikan objek dalam kegiatan pendidikan. Diposisikan selalu pasif, dijejali dengan informasi-informasi pengetahuan tanpa memiliki kesempatan untuk bersikap kritis.
Para peserta didik perlu dipacu agar memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengemukakan pendapat dan gagasan, yang merupakan energi dari kebebasan. Kegiatan pendidikan yang berhasil menanamkan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berarti telah membangun pondasi mental pantang menyerah terhadap keadaan atau belenggu yang membelit gerak kehidupannya. Mereka dibentuk untuk bisa mandiri dan mempunyai kepercayaan diri tinggi dalam mengatasi segala persoalan kehidupan.

Kecerdasan Intelektual
Setelah menyadari kebebasannya, manusia perlu dibekali kemampuan untuk bisa menggunakan kebebasannya. Kemampuan tersebut dibentuk dengan menanamkan berbagai pengetahuan, ketrampilan, daya nalar serta nilai-nilai yang dapat mendorong kemauan berusaha dan kreativitas. Peserta didik diasah kecerdasan intelektual dan keahliannya.

J.Drost (2002) pernah menuturkan bahwa teras kematangan kecerdasan intelektual adalah kemampuan bernalar dan bertutur kata yang telah terbentuk. Jadi, seseorang yang “mampu” menggunakan kebebasannya selain memiliki ciri terampil, kreatif dan berkemampuan untuk berkarya atau bekerja, dia juga mempunyai kemampuan bernalar serta bertutur kata yang baik.

Mencetak produk pendidikan yang demikian tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan teoritis yang kurang menyentuh kehidupan nyata peserta didik. Praktek dengan lebih mendekatkan antara teori-teori ilmu pengetahuan dengan pemecahan persoalan-persoalan dalam realitas kehidupan perlu lebih diintensifkan, agar peserta didik juga mampu atau tidak gamang dalam menghadapi persoalan.
“Ruang” untuk mengembangkan kreativitas anak sangat dibutuhkan, baik di dalam maupun di luar area sekolah. Anak senang menjelajahi dan melakukan sesuatu dengan cara berbeda. Karena itu pengembangan kreativitas tidak bisa dibatasi hanya di lingkungan sekolah saja. Anak perlu didorong atau diarahkan untuk menggunakan imajinasinya dan mempraktekkan kemampuan kreatifnya dengan cara yang leluasa (bebas-luas), agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir fleksibel dan meningkatkan kepercayaan diri (Ali Nugraha & Neny Ratnawati, 2003).

Dengan demikian fasilitator pembangunan kreativitas, ketrampilan dan keahlian, kemandirian serta kecerdasan intelektual ini tidak bisa hanya diserahkan kepada para guru. Orang tua, masyarakat dan pemerintah perlu mendukung program ini dengan penyediaan ruang-ruang pengembangan kreativitas anak, seperti taman bermain dan belajar, arena pengenalan profesi, perpustakaan umum atau sarana lainnya.

Mental kemandirian serta kreatif perlu ditumbuhkan ke para peserta didik, karena mental tersebut dapat membentuk manusia yang dapat memberdayakan dirinya dalam perjuangan hidup. Dengan demikian mereka akan merdeka dari berbagai belenggu seperti : kebodohan dan keterbelakangan, penindasan dan ketidakadilan, serta ketidakberdayaan secara ekonomi dan sosial.
Manusia yang berdaya juga akan terbebas dari kungkungan pemikiran-pemikiran sempit bersifat eksklusif dan fanatisme suku, agama dan ras, yang cenderung merugikan karena dapat menimbulkan friksi. Manusia yang berdaya tidak mudah terpancing dan terseret arus eksklusifme dan sektarian yang gampang menyulut benturan sosial yang menghancurkan.

Kecerdasan Emosional Dan Spiritual
Kemampuan untuk menggunakan kebebasan perlu diimbangi dengan kemampuan untuk mengetahui batas-batas kebebasannya. Sebab setiap manusia mempunyai misi menjaga keselarasan dan keharmonisan sistem kehidupan. Sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa peran dan bantuan orang lain, manusia terikat dalam jaringan antar individu. Sehingga mereka perlu memahami nilai-nilai keluhuran budi, etika-moral, sosial, hukum dan keadilan yang berlaku, dan kemudian mampu menerapkannya sebagai “pagar” dalam mengekspresikan kebebasan. Tanpa “pagar” manusia akan menjadi mahluk yang liar tanpa peradaban.

Untuk itu, manusia mesti memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan ini bisa diasah melalui pendidikan nilai-nilai. Pendidikan nilai sejak dini terutama dilakukan oleh orang tua melalui keteladanan dalam kehidupan keluarga, yang diserap oleh kemampuan intuitif anak-anak. Orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai luhur kejujuran, kesederhanaan, kelemahlembutan, kesabaran, toleransi, cinta pada sesama dan musyawarah.

Dalam uraian yang hampir sama, J.Darminta, SJ (2006) menyampaikan bahwa dalam praksis pendidikan nilai anak-anak mesti dibantu untuk memupuk dan memperoleh keutamaan-keutamaan yang membuat mereka sungguh manusia, seperti : kesetiaan, kejujuran dan ketulusan, iman, kuasa diri, keteguhan dan kebaikan.
Keteladanan memiliki peranan penting dalam pendidikan nilai, bukan pengetahuan teoritis. Karenanya beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan nilai akan berhasil diajarkan bila si pendidik juga memberikan teladan yang baik dan contoh nyata. Saat ini, pendidikan agama yang diharapkan menjadi basis penanaman nilai-nilai luhur di sekolah terjebak pada penghafalan sejarah, tokoh dan hukum-hukum agama, dan minim penekanan pada praksis nyata dan peneladanan perilaku toleran serta amal kepada sesama yang menderita (Juswan, 2006)2. Akibatnya, peserta didik menyerap pendidikan agama sebagai “pelajaran teori”, bukan bagaimana seharusnya berperilaku sebagai seorang yang ber-Tuhan.
Melalui penanaman nilai-nilai luhur yang menjadi “pagar” kebebasan, diharapkan keselarasan antara kebebasan dalam berkarya dengan upaya menjaga harmonisasi kehidupan antar manusia akan tercipta. Manusia memiliki harkat dan martabatnya, namun tetap dalam koridor yang diharapkan.

Keseimbangan
Dengan demikian, pendidikan humaniora yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya harus memasukkan secara lengkap unsur-unsur humaniora. Penekanan aspek keahlian, ketrampilan dan intelektual akan membuat manusia kehilangan rasa kemanusiaannya, menjadi barbar. Mereka menjadi tidak memiliki batas dalam menggunakan kebebasannya.
Hanya mengutamakan kecerdasan emosional dan spiritual serta nilai-nilai keluhuran juga akan membuat manusia terlalu polos dan mudah ditipu. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan kebebasannya, kehilangan harkat dan martabat sebagai manusia. Jadi, dalam pendidikan humaniora semua unsur humaniora harus diberikan secara seimbang.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa