02/09/08

Pentingnya Pendidikan Yang Berakar Pada Budaya


(Dimuat dalam Majalah Basis, Edisi Juli-Agustus 2008)
Oleh : FX. Gus Setyono*


Pernah mengamati apa yang membuat Jepang menjadi negara maju dan salah satu raksasa ekonomi dunia? Salah satunya karena bangsa ini mampu memanfaatkan nilai-nilai budaya dan sejarah – dua nilai yang tidak bisa dipisah -- sebagai landasan daya juang, yang merupakan kekuatan dahsyat untuk mendorong kemakmuran.

Pola pikir dan perilaku masyarakatnya yang unik dengan SDA (sumber daya alam) serta struktur geografis yang tidak terlalu istimewa, membuat Jepang pantas dipakai sebagai referensi bagi negara-negara di Asia Pasifik yang sedang berjuang menggapai kemakmuran.
Jepang bisa mengubah sejarah para ksatrianya dan budaya tradisional menjadi senjata ampuh untuk memajukan negara di tengah globalisasi yang menyodorkan imperialisme kultur Barat. Di tengah peradaban dunia yang hingar-bingar dengan hedonisme dan perebutan kekuasaan, Jepang tetap bagaikan paus raksasa yang melaju menyeruak samudera lepas, tanpa mempedulikan tawaran-tawaran kultur asing. Bangsa ini berhasil menerapkan “prinsip ikan laut”, yang mampu hidup dan berkembang biak di habitat air laut yang asin namun tubuhnya tidak kemudian menjadi asin.

Penghargaan yang tinggi terhadap sifat ksatria para samurainya serta budaya tradisional, dan kemudian memakainya sebagai nilai-nilai dalam perjuangan hidup menjadikan masyarakat Jepang memiliki sikap-sikap positif seperti : tidak mudah menyerah, tidak takut cobaan maupun kesulitan, menjaga harga diri dan kehormatan bangsa, melakukan semua pekerjaan dengan kesungguhan, menebus kekalahan dengan keberhasilan pada bidang lain, serta pintar memanfaatkan SDA yang ada (Ann Wan Seng, 2007).

Pendalaman histori dan kultur bangsa Jepang tidak hanya berlangsung di sekolah. Kesadaran mempropagandakan dan menanamkan nilai-nilai ini juga dilaksanakan oleh para pekerja seni serta berbagai bidang kehidupan yang lain. Sehingga bisa disaksikan sekarang berbagai promosi dan pagelaran budaya Jepang, bahkan novel, komik dan film kartun selalu mengangkat tema semangat para samurainya dan nilai-nilai budaya yang luhur. Gambaran ini menunjukkan bahwa bangsa Jepang telah mampu menyadari pentingnya pendidikan budaya dan mengimplementasikannya secara sempurna.

Dan setelah berhasil menjadikan nilai-nilai kultur dan sejarah menjadi sebuah karakter bagi semua komponen masyarakatnya, bangsa ini menjadi negara yang kemajuan perekonomiannya seperti sebuah keajaiban. Tercatat, meskipun hasil survei dua lembaga keuangan asal AS yakni Merrill Lynch dan Capgemini, Jepang menempati urutan ke-5 prosentase kenaikan jumlah orang kaya (di bawah Indonesia dan Cina), namun jumlah total orang kaya di negara tersebut tetap tertinggi di kawasan Asia Pasific, yaitu sejumlah 1,477 juta orang, sedangkan Indonesia cuma 20 ribu orang di tahun 2007. Semua dicapai dengan proses yang berat, dari hasil kerja dan usaha keras rakyatnya. Sebuah semangat perjuangan yang diperoleh dari nilai-nilai sejarah-budaya.

SDM Indonesia
Sungguh ironis, bahwa bangsa Indonesia sesama negara di Asia, justru mengalami kondisi yang berkebalikan. Kita masih berkutat pada masalah-masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama, masalah-masalah tersebut bukannya berkurang malah memburuk.

Daya saing Indonesia berdasar riset The World Economic Forum pada 31/10/2007 menurun peringkatnya dibanding 2006, di bawah Malaysia dan Thailand untuk negara-negara ASEAN. Peringkat kualitas SDM Indonesia juga jauh dari harapan. Berdasar Index Pembangunan (united nation) kualitas SDM kita di peringkat 108 dari 177 negara, sedangkan Index Kualitas Hidup (the economist) menempati peringkat 71 dari 117 negara.

Yang menyedihkan adalah populasi orang miskin di Tanah Air yang berjumlah sekitar 33 juta orang. Berarti warga masyarakat yang mengalami ketidakmampuan ekonomi mencapai lebih dari 15% dari total penduduk yang berjumlah lebih dari 220 juta orang per Mei 2007.

Dalam keterkaitan dengan dunia pendidikan, bisa jadi ada 2 masalah yang mempengaruhi kondisi di atas :(1) kurangnya komitmen pemerintah dalam memenuhi amanat UU dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) kultur pendidikan di Tanah Air yang memang tidak mendukung proses kemajuan.

Dua masalah tersebut menjadikan wajah pendidikan di negeri ini terpuruk, SDM tidak kompetitif karena kurang memiliki basis berpikir yang merujuk pada nilai-nilai usaha, perjuangan dan kejujuran. Artinya, masyarakat juga memiliki kemampuan rendah untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan dan memberdayakan dirinya dalam proses pembangunan ekonomi, sosial-budaya. Akibat ketidakmampuan tersebut, pembangunan berjalan lambat, tingkat hidup masyarakat rendah, akhirnya kemiskinan tetap menjadi masalah sosial yang belum terpecahkan.

Akses Pendidikan
Komitmen pemerintah terhadap amanat UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa” masih sebatas lip-service, belum terimplementasi secara jelas. Mestinya pemerintah memberikan akses, memfasilitasi dan memberikan kemudahan kepada seluruh rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak. Termasuk membangun sarana dan prasarananya bagi semua anggota masyarakat, dan bukan hanya bagi segelintir orang.

Terkait amanat tersebut, kebijakan membangun sekolah unggulan oleh Pemda DKI dengan dana APBD senilai 89 milyar patut diperdebatkan lebih dalam, apa dasar dan tujuannya, bagaimana mekanisme dan akibatnya terhadap keadilan masyarakat (Sigit Darmawan, 2007). Kebijakan ini berarti hanya memberikan akses pendidikan berfasilitas mewah bagi segelintir orang yang dianggap “unggul”, padahal dana yang dipakai harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Terkesan seperti “proyek mercusuar”, penghamburkan dana, serta eksklusifme proses pendidikan.

Lebih populis jika kebijakan pemerintah memihak kepada seluruh anggota masyarakat yang tidak berdaya, baik secara fisik, ekonomi, kesempatan dan status sosialnya, agar dapat menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi. Karena, akibat ketidakberdayaan ini ribuan atau mungkin jutaan anak Indonesia putus sekolah dan tidak mampu mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Keberpihakan ini dapat dilakukan, misalnya dengan membuka lebih besar kran anggaran pendidikan, yang rencana 2008 nanti alokasinya baru Rp. 48,3 trilyun atau 12,3%, mestinya 20% sesuai amanat UU. Setelah anggaran, sistem distribusi dana juga perlu dievaluasi apakah tepat sasaran dan bebas “kebocoran”. Faktanya, sistem penyaluran dana pendidikan seperti BOS yang mencapai Rp.11 trilyun pertahunnya sejak 2005, rawan pelanggaran. Yang menyedihkan, DKI Jakarta justru paling besar pelanggarannya, yang seharusnya menjadi contoh.

Kultur Pendidikan
Wajah pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia masih didominasi oleh kultur yang tidak mendukung penyemaian nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap yang mendorong kemajuan bangsa. Pelaksanaannya belum menyentuh kebutuhan negara dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Permasalahannya masih berkutat pada hal-hal monoton seperti sistem pengajaran konvensional dengan metode ceramah searah.

Mestinya KBM (kegiatan belajar-mengajar) sudah tidak lagi terbelit persoalan klasik dalam hal metode mengajar.
Metode pengajaran yang kaku sudah harus dimodifikasi menjadi metode yang segar dan kreatif dalam membentuk manusia Indonesia yang “utuh” dan bermartabat. Artinya, mampu membentuk seseorang menjadi berdayaguna serta memiliki kebebasan dan mampu menggunakan kebebasannya dengan batas-batas pertanggungjawaban etika-moral yang berlaku. Dalam perspektif ini, sangat logis bila KBM mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kreatif, menuangkan dan mewujudkan ide, serta kebebasan berpendapat.

Ironi dalam dunia pendidikan juga tampak pada konsep penanaman sikap pengutamaan target nilai, dengan memberlakukan sistem UN (ujian nasional). Pendidikan yang benar seharusnya menekankan pentingnya proses perjuangan dalam meraih sesuatu. Peserta didik dapat menghargai proses usaha dan bukan hanya jalan pintas dengan mengutamakan perolehan “angka” dalam sebuah kegiatan ujian nasional. UN sama sekali tidak memandang day to day proses belajar peserta didik. Yang dihargai adalah kegiatan sesaat yang menghasilkan sebuah angka (nilai). Pada peserta didik telah diajarkan pola berpikir praktis “mendapat nilai tinggi” karena hal itulah yang dihargai dengan predikat lulus. Mereka tidak lagi menghargai proses pendidikan yang dijalani setiap hari selama bertahun-tahun.

Kekhawatiran-kekhawatiran atas dampak UN ini terus bergulir menyangkut : perilaku siswa yang hanya mengejar target nilai, bertambahnya siswa yang stress, serta guru yang hanya mementingkan pelajaran yang diujikan.

Selain tidak mendukung pembentukan sikap daya juang dan usaha (seperti Jepang), hasil UN juga tidak berbanding lurus dengan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Berarti metode UN memang sama sekali tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan dalam mendukung pembangunan atau kemajuan ekonomi - - apalagi mengentaskan kemiskinan. Sebagai contoh adalah hasil UN tahun 2007, dimana hasil tertinggi diraih Jawa Timur, sementara DKI Jakarta menempati urutan ke-3 setelah Bali. Tetapi tidak demikian dengan proses pembangunan dan perkembangan ekonomi daerah yang menempatkan DKI Jakarta di tempat teratas.

Proses pendidikan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat terasa kurang memperhatikan penanaman nilai-nilai budaya dan sejarah kepahlawanan yang mendukung kemajuan bangsa. Antonio Gramsci menekankan pentingnya pembelajaran diri melalui nilai sejarah, dengan pendapatnya “manusia merupakan mahluk yang membentuk diri melalui sejarah, sebab jika tidak manusia terjatuh pada transedensi atau imanensi yang tidak nyata” (Donni Koesoema A., 2007).

Ada baiknya dikembangkan wacana mengintensifkan penanaman nilai-nilai sejarah dan budaya dalam proses pendidikan yang diberikan seluruh pilar penyelenggara pendidikan yang terdiri : sekolah, keluarga dan masyarakat. Proses pendidikan kultur ini dimaknai sebagai usaha membangun kemampuan menghargai, mengadopsi nilai-nilai positf sejarah-budaya menjadi pola pikir, serta menciptakan suatu produk budaya yang bernilai tinggi dan memiliki nilai komersial.

Kemampuan menghargai budaya ditandai dengan rasa kebanggaan dan militansi untuk selalu menunjukkan atau mempromosikan serta membela – bila ada yang merusak atau mengambilalih – berbagai tradisi serta produk budaya bangsa. Tidak ada rasa malu atau takut dianggap kampungan bila memperlihatkan kepada orang lain, semua hasil budaya, sampai kepada menempatkan produk budaya sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan menjadi prestise.

Sedangkan mampu mengadopsi nilai-nilai positif berarti bisa mengambil dan menerapkan menjadi pola pikir, semua filosofi, sikap-sikap positif dari sejarah-budaya yang sesuai dengan semangat pemberdayaan diri dalam mengatasi segala persoalan kehidupan, termasuk kemiskinan secara makro. Dalam hal ini, merupakan sesuatu yang mustahil terjadi bila tidak ada pendalaman mengenai setiap produk budaya dan sejarah yang ada.

Kemampuan mencipta produk budaya terbentuk melalui kreativitas dan ide-ide cemerlang dalam membakukan sebuah karya cipta yang memiliki nilai seni dan komersial tinggi, serta dapat mewujudkan menjadi sebuah icon atau identitas baik lokal maupun nasional, sebagai sebuah hasil budaya. Sehingga, dukungan kultur pendidikan agar dapat membentuk manusia yang kreatif serta mandiri dan berdayaguna sangat dibutuhkan. Demikian pula dukungan lembaga yang mengeluarkan legalitas pembakuan hasil karya, agar segala ciptaan anak bangsa diakui sebagai produk budaya Indonesia, melalui hak paten.

Jangan sampai negara lain yang justru melihat nilai komersial budaya kita dan kemudian mengambilalih untuk kepentingan ekonomi mereka. Peristiwa klaim Malaysia terhadap beberapa produk budaya bangsa Indonesia memang memperlihatkan rasa tidak punya malu negeri jiran tersebut. Tetapi pada sisi lain menunjukkan kesadaran mereka terhadap nilai budaya lebih tinggi dari bangsa kita. Akhirnya, saat ini tingkat ekonomi Malaysia sudah menyaingi Indonesia.

Pluralisme Budaya
Ada satu kendala yang mungkin diperdebatkan sehubungan pendidikan budaya dan sejarah bangsa, yakni pluralisme budaya. Indonesia yang merupakan negara multietnis -- ada sekitar 300 etnis menurut Hermawan Sulistiyo -- terdiri dari berbagai macam suku, tentunya menghasilkan produk budaya yang juga multikultur. Tidak seperti bangsa Cina, India, Inggris, Jepang, yang memiliki identitas budaya jelas.

Seperti pernah disampaikan Nurcholis Madjid (alm) dalam sebuah diskusi, bahwa yang disebut budaya Indonesia secara defacto tidak ada, yang ada adalah budaya Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dst. Jadi Indonesia tidak merujuk pada satu identitas yang konkret, sehingga berpotensi terhadap disintegrasi. Lalu budaya mana yang harus ditanamkan?

Barangkali bangsa ini tidak bisa bersepakat atas satu budaya yang bisa menjadi identitas. Tidak seperti Amerika Serikat yang walaupun secara kultural beragam, namun kelompok-kelompok yang berlainan bisa tunduk pada kebudayaan yang dominan (Sumit K.,2007). Namun, bukan berarti pendidikan nilai budaya tidak perlu diberikan. Pelaksanaan pendidikan nilai sejarah-budaya dapat dilakukan di setiap daerah atau masyarakat dalam komunitas lokal dengan masing-masing kultur dan historisnya. Yang penting ditarik satu benang merah, bahwa intisari nilai-nilai positif setiap budaya di setiap daerah yang harus disepakati untuk ditanamkan kepada peserta didik.

Diharapkan, penerapan nilai-nilai positif budaya dan sejarah kepahlawanan menyentuh filosofi semangat juang dan usaha, sehingga anak didik dan seluruh masyarakat menjadi militan terhadap nilai-nilai sejarah-budaya tersebut, dan tidak sekedar diberikan secara dangkal tanpa arah yang jelas seperti yang selama ini berlangsung.

Pendidikan sejarah-budaya di sekolah yang telah terjadi, hanya menyentuh kulit luar dan tidak mampu membangun penguatan identitas nasional. Mestinya – seperti disampaikan Baharuddin dan Moh. Makin dalam Pendidikan Humanistik (2007) – kurikulum pendidikan dapat menyajikan pemahaman sejarah-budaya ini agar terjadi penguatan identitas nasional pada peserta didik.

Lebih dari itu, pemahaman tersebut diusahakan mampu membentuk ciri yang unik dan memiliki spirit usaha keras dan pantang menyerah dalam perjuangan membangun kehidupan yang lebih maju. Dengan tertanam secara kuat intisari sejarah-budaya sebagai nilai positif yang menjadi karakter segenap anggota masyarakat, maka nilai-nilai tersebut juga bisa menjadi buldoser bagi kemajuan pembangunan dan kemakmuran.

Demikian pula perubahan kultur pendidikan yang diharapkan mampu membentuk peserta didik yang memiliki kemampuan memberdayakan diri baik secara individu maupun kolektif, untuk mengatasi persoalan-persoalan kehidupan, terutama yang menyebabkan kemiskinan dirinya. Lebih dari itu, eksistensi masyarakat yang memiliki kemampuan untuk ikut mendorong roda pengentasan kemiskinan secara makro bangsa ini juga terbentuk.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa