05/09/08

Target Yayasan Pendidikan Di Era ICT


Dimuat dalam majalah Educare No.10/IV/Januari 2008)
Oleh : FX. Gus Setyono*



Misi sosial dan profesionalisme merupakan dua sisi mata uang yang melekat pada sebuah yayasan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengelola lembaga pendidikan. Pada era kompetisi antar lembaga pendidikan yang semakin ketat, ditambah globalisasi yang merupakan akibat dari perkembangan ICT (Information and Communication Technology), maka muncul pertanyaan, dengan beban misi sosial yang dipikulnya mampukah yayasan survive dan berkembang?

Dalam perjalanannya, pengelolaan yayasan pendidikan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengurusnya. Pada satu sisi mereka memiliki misi sosial yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Pada sisi lain profesionalisme juga dituntut, melalui pengembangan secara kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Bagaikan sosok seorang pendidik, pada sebuah yayasan pendidikan akan selalu melekat image “guru”. Dalam konteks kultur-historis bangsa ini, secara etimologi “guru” atau resi adalah seseorang yang dengan segala kesederhanaannya, jauh dari gelimang materi, penuh kebijaksanaan, kemampuan spiritualitas tinggi, pintar (tempat bertanya), serta selalu berusaha dan memiliki jiwa memberi pencerahan kepada orang lain. Melihat sejarah budaya yang dominan mempengaruhi pola pikir bangsa ini, maka masyarakat tetap akan melihat wujud yayasan pendidikan sebagai lembaga yang tidak komersil, kental dengan nuansa kesederhanaan, punya misi mencerdaskan bangsa, tetapi sekaligus juga memiliki kinerja yang profesional dan berkualitas.

Aturan formal juga meng-absorb dua kepentingan atau misi ini dalam dua Undang-undang yang berbeda. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan bersifat nirlaba, artinya dibutuhkan badan hukum yang juga bersifat nirlaba. Sedangkan pada UU No. 28/2004 disebutkan bahwa yayasan yang ingin mendirikan pendidikan harus mendirikannya dalam bentuk badan usaha (Kompas, 01 November 2007). Dua aturan yang kontradiktif. Tetapi menunjukkan bahwa dua kepentingan tersebut memang sulit dihilangkan dari badan hukum yang disebut yayasan pendidikan.

Tiga Target Yayasan Pendidikan
Eksistensi yayasan pendidikan sebagai institusi sosial sesuai dengan amanat negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus diperhatikan. Karenanya sangat tidak etis bila dalam operasionalnya hanya mengutamakan segi bisnis dengan membuat kebijakan menerapkan biaya pendidikan tinggi terhadap sekolah-sekolah yang dikelolanya, yang akhirnya anak didiklah yang terkena dampak kebijakan itu. Sangat disayangkan bila para pengelola menjadikan yayasan sebagai kendaraan bisnis untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya. Orientasi mengkomersilkan lembaga pendidikan akan menuai penilaian buruk dari masyarakat.

Masyarakat akan mencela atau bahkan memprotes, karena mereka sudah memiliki pengertian bahwa hak untuk mengenyam pendidikan dengan biaya seminimal mungkin merupakan tuntutan yang wajar.

Pada saat yang sama, yayasan akan mendapat penilaian yang juga buruk bila memiliki performance yang tidak profesional. Pengutamaan misi sosial tidak boleh menjadi alasan untuk bersikap “asal jalan”. Masyarakat tetap akan menyorot kinerja sebuah yayasan pendidikan. Oleh sebab itu, sebuah yayasan harus tetap konsisten untuk berusaha survive serta berkembang.
Guna memurnikan fungsi sosial sekaligus profesionalisme, maka dalam menarik dana dari peserta didik harus tetap dalam konteks menjaga eksistensi, pengembangan dan penyempurnaan yayasan. Sehingga target utama yayasan pendidikan bisa ditarik dari konteks ini, pertama bagaimana dia bisa tetap bertahan atau survive dengan keberadaannya, kedua bagaimana bisa mengembangkan kinerja, dan ketiga bagaimana menyempurnakan sistem manajemen mutu lembaga-lembaga pendidikan yang dinaunginya.

Tetap eksis atau tidaknya sebuah yayasan tergantung metode yang digunakan untuk menjaga kualitas lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola. Karena itu, yayasan mesti mempunyai program yang jelas dan terencana mengenai perbaikan-perbaikan. Baik perbaikan atas sarana dan prasarana yang sudah tidak layak pakai maupun dalam bidang SDM (sumber daya manusia), khususnya para tenaga pengajar. Di samping itu, problem yang sering disepelekan namun sangat berisiko terhadap kualitas adalah masalah kaderisasi. Sering dijumpai sebuah sekolah favorit di bawah yayasan tertentu tiba-tiba “jatuh pamornya” setelah berganti pimpinan (kepala sekolah). Sepertinya beberapa yayasan pendidikan kurang memperhatikan atau tidak memiliki kemampuan dalam hal pelatihan dan kepemimpinan SDM.

Setelah mampu eksis dan bertahan dengan melakukan perbaikan-perbaikan, maka target kedua dari yayasan adalah mengembangkan dirinya. Maksudnya, secara kualitas dan kuantitas yayasan harus memiliki komitmen untuk meningkatkan sarana, prasarana maupun SDM. Peningkatan tersebut terutama adalah terhadap lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah yang terkadang dinomorduakan. Perlu disadari bahwa tingkat persaingan antar lembaga pendidikan di daerah sudah sangat ketat akibat kemudahan-kemudahan yang dibuat, sehingga sekolah-sekolah negeri bermunculan. Maka untuk dapat memenangkan persaingan tidak bisa ditawar lagi ialah dengan cara terus menanamkan image kepada masyarakat di daerah bahwa sekolah yang dikelola sangat berkualitas. Salah satu metodenya dengan melengkapi faktor-faktor penunjang kegiatan belajar-mengajar, yakni sarana, prasarana dan tentunya kualitas tenaga pengajar.

Untuk dapat mengembangkan sarana dan prasarana, yayasan mesti bersinergi dengan komite yang peduli terhadap pengembangan lembaga pendidikan, semacam komite sekolah. Bentuk sinergi yang paling dibutuhkan adalah mengenai penggalangan dana. Kalau sinergi tidak tercapai, maka pengembangan sarana serta prasarana pendidikan seperti gedung, arena olah raga, laboratorium, perpustakaan, alat peraga, tempat praktik kerja, akan mengalami kesulitan.

Apalagi di era perkembangan ICT, lembaga pendidikan tidak bisa menutup mata dengan proteksi yang berlebihan terhadap hadirnya teknologi-teknologi baru. Sekolah harus bisa menyediakan berbagai sarana yang dapat mendukung anak didik untuk mengenal kemajuan ICT. Bila sekolah tertutup terhadap kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, apalagi tidak mampu memfasilitasi anak didik untuk mengenalnya, maka sekolah adalah lembaga pendidikan yang paling bersalah dalam menyelenggarakan pendidikan. Begitu lepas dari lembaga pendidikan yang bersangkutan, biasanya anak didik akan merasa gamang bila ketemu dengan teknologi yang sudah jauh berkembang di luar perkiraannya.

Penyempurnaan Manajemen
Setelah mampu eksis dan memiliki potensi berkembang, maka penyempurnaan sistem manajemen mutu terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang dinaungi, perlu ditekankan oleh yayasan. Banyak lembaga pendidikan yang salah dalam menerapkan kebijakan ini. Mereka merasa confidence dengan mengajukan sertifikasi ISO, padahal secara sarana dan prasarana maupun SDM belum siap. Sertifikasi ISO hanya menjadi program promosi. Dengan maksud agar kelihatan bonafit dan dapat menjaring siswa sebanyak-banyaknya mereka memaksakan diri untuk memperolehnya. Ketidaksiapan dalam menjalankan sistem dan prosedur hanya membuat sia-sia sebuah sertifikasi ISO.

Penyempurnaan pola kerja yang mempengaruhi mutu suatu produk (baca : siswa) merupakan tujuan dari sebuah program ISO. Dan untuk mendukung keberhasilan program ini maka dibutuhkan penunjang yang berupa kelengkapan sarana dan prasarana serta kesiapan SDM. Karenanya, bila tidak ada kesiapan dari unsur-unsur tersebut maka program ISO hanya akan menjadi semacam “proyek mercu suar”.

Oleh sebab itu, sistem manajemen mutu dalam target merupakan penyempurna dari kinerja serta sistem manajemen yang sudah ada. Tetapi program ini menjadi kebutuhan yang mesti dicapai oleh setiap lembaga pendidikan yang dikelola. Pelaksanaannya bisa memanfaatkan lembaga-lembaga yang dapat memberikan sertifikasi sekaligus memberikan advis bagaimana seharusnya sistem manajemen mutu dilaksanakan.

Dengan sistem manajemen mutu melalui sertifikasi ISO, maka operasional, tata cara kerja, diatur secara sistematis dan terpola, dengan kelengkapan dokumen-dokumen penunjang yang menjadi bukti pelaksanaan sistem kerja. Dengan pelaksanaan sistem kerja seperti ini, maka diharapkan produk siswa yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang juga tinggi.

Buah Dari Tantangan
Proses pencapaian semua target bagi yayasan pendidikan, merupakan batu ujian yang harus dilalui. Para pengelolanya akan merasakan suatu kepuasan jika mampu melalui tantangan tersebut. Bila yayasan pendidikan memiliki komitmen yang kuat dan secara konsisten mengusahakan tercapainya kondisi ideal lembaga pendidikan yang dikelolanya, maka buah-buah yang siap panen akan dituai.

Buah-buah yang dimaksud adalah favoritnya lembaga-lembaga pendidikan yang dinaunginya, di mata masyarakat. Sekolah-sekolah yang dikelola menjadi pilihan pertama para orang tua untuk menyerahkan pendidikan anak-anak mereka. Akhirnya, yayasan pendidikan mempunyai peran yang besar terhadap tujuan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa