09/09/08

Membentuk Manusia Bermartabat Yang Menghargai Martabat Manusia


(Dimuat dalam majalah Educare Edisi 9/IV/Desember 2007)
Oleh : FX. Gus Setyono



Kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang begitu dahsyat pada satu sisi membuat manusia merasa dimuliakan, karena terbantu dan dimudahkan pada semua aspek kehidupan. Namun juga menimbulkan suatu kekhawatiran, ketika menyaksikan iptek yang mereka ciptakan malah mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan menjadi perilaku dan budaya yang “mendewakan” iptek. Karena itu diperlukan suatu metode untuk mengembalikan orientasi ke arah semula, yang diyakini para praktisi pendidikan dapat dilakukan melalui proses pendidikan.

Dengan kemajuan iptek, terutama teknologi transportasi dan informasi, manusia memang mendapatkan kemudahan-kemudahan. Jarak ribuan kilometer dapat ditempuh hanya dalam waktu singkat. Informasi-informasi dari belahan dunia manapun dapat diketahui dalam sekejap. Teknologi yang canggih menyebabkan antar negara menjadi semakin transparan dan terbuka. Bahkan setiap celah kehidupan manusia yang tertutup dan rahasia bisa dimasuki. Sehingga berkembang pendapat bahwa iptek merupakan kunci utama negara-negara modern (Amien Rais, 2007)

Dalam perkembangannya, kemajuan iptek ternyata membawa dampak yang juga sangat dahsyat. Kehidupan manusia didikte oleh perangkat-perangkat canggih yang mereka ciptakan sendiri. Teknologi informatika yang diprogram secara otomatis malah mengatur pola kehidupan manusia. Tata kerja dipandu oleh perangkat lunak yang digerakkan secara sistematis yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dengan dalih efisiensi penggunaan perangkat mekanis semacam robot, mulai menggantikan tenaga manusia. Eksistensi manusia mulai dikalahkan oleh mesin-mesin yang bisa bergerak secara otomatis serta memproduksi secara massal dan cepat.


Keberpihakan pada prinsip kemanusiaan berubah menjadi orientasi pada teknologi.
Musuh utama manusia sekarang bukan lagi mahluk asing dari planet lain atau sebangsa binatang buas yang mengancam hidup manusia. Musuh mereka adalah bangsa manusia sendiri. Melalui penciptaan dan persaingan teknologi, segala cara ditempuh untuk mengalahkan lawan atau pesaing. Belum lagi dunia kejahatan yang juga dilakukan dengan menciptakan teknologi yang lebih canggih. Sehingga kita saksikan sekarang pembobolan/pencurian berbagai macam produk perbankan dengan menggunakan teknologi informatika.

Manusia tidak lagi memiliki privasi, ketika segala aktivitas mereka dapat diketahui, direkam dan kemudian disebarluaskan dengan perangkat teknologi yang semakin marak diperdagangkan di masyarakat. Menunjukkan betapa kreatif dan pintarnya manusia, tetapi juga betapa etika moral sudah tidak lagi diperhitungkan. Harkat dan martabat manusia bukan lagi menjadi yang utama.

Kondisi inilah yang seharusnya dicegah. Iptek semestinya menjadi alat bantu yang pada hakikatnya harus memuliakan harkat dan martabat manusia. Idealnya teknologi diciptakan agar kehidupan manusia terangkat ke posisi tertinggi. Si pencipta mendapatkan penghargaan yang layak atas karyanya, sementara yang menikmati ciptaan dibantu atau dimudahkan dalam setiap aktivitas kehidupannya. Karena itu, apakah suatu teknologi akan merendahkan atau mengangkat martabat manusia, seharusnya menjadi pertimbangan sebelum sebuah perangkat diciptakan. Di samping itu, apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan begitu sebuah teknologi diterapkan ataukah malah membahayakan kehidupan. Bila petimbangan-pertimbangan tersebut tidak dilakukan maka ahli-ahli iptek hanya akan menjadi teknokrat-teknokrat yang tidak beradab.

Pendidikan Sebagai Tindakan Preventif
Proses penciptaan iptek harus memandang manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki misi mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Bukan sebaliknya, malah mengarah pada dehumanisasi kehidupan. Karena iptek merupakan hasil dari proses pendidikan, maka upaya mengeliminasi dampak buruk dari iptek juga bisa dilakukan melalui proses pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan manusia yang notabene sebagai pencipta sekaligus pengguna tahu bagaimana seharusnya memperlakukan iptek. Jika kemudian iptek yang dia ciptakan berpotensi merusak akhlak dan kehidupan, maka sekaligus akan dibuat proteksi-proteksi untuk mencegahnya. Atau kalau sampai berisiko terhadap nyawa manusia dan mahluk hidup lain, maka sebaiknya dibatalkan atau dimusnahkan.

Pendidikan diharapkan menjadi tindakan preventif yang tepat terhadap penyalahgunaan iptek. Hal ini karena laju perkembangan teknologi tidak mungkin dihambat. Eksistensinya akan terus berkembang dan meningkat. Yang bisa dicegah adalah si pencipta dan pemakai teknologi, yakni manusianya. Bagaimana seharusnya manusia memiliki nurani dan perasaan, juga akal budi yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mesti tertanam juga suatu kesadaran bahwa harkat dan martabat manusia diatas segala-galanya. Kondisi mental seperti ini bisa tertanam bila sepanjang hidupnya seseorang mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, kemanusiaan dan budi pekerti dalam proses pendidikan yang dialaminya. Sejalan dengan pendapat di atas, Doni Koesuma (2006) menyampaikan, bahwa pendidikan merupakan sebuah proses dinamis pembentukan diri terus-menerus untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas, terlebih secara moral.

Kemandirian Dan kebebasan
Sangat diharapkan setiap individu dari bangsa ini juga mengalami proses pematangan akhlak atau moral yang didapat dari pendidikan. Baik itu pendidikan keluarga, masyarakat maupun formal. Hal ini senada dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang telah dicantumkan Retno Listyarti (2006) dalam artikelnya Metode Alternatif : Upaya Menerobos Kemandekan. Dimana disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dengan menggarisbawahi tujuan “mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat” maka proses pendidikan haruslah menanamkan suatu sikap mental yang mendukung kemampuan tersebut. Penting disadari oleh anak didik bahwa dirinya memiliki eksistensi sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang proporsional. Dimana dalam kebebasan dan kemerdekaannya mereka mesti menyadari bahwa pada saat hidup bersosial dengan manusia lain mereka tetap harus menghormati dan menghargai eksistensi orang lain dan kedamaian hidup bersama.

Dalam proses yang demikian metoda pengajaran yang memacu kebebasan dalam berpikir dan mengungkapkan pendapat mesti dikedepankan. Metode belajar-mengajar pasif yang hanya menjejalkan mata pelajaran, sementara anak didik hanya menerima dan menyimpan dalam memori otak, sangat tidak cocok untuk dipakai.

Di samping kebebasan berpikir dan berpendapat, mental mandiri menjadi salah satu syarat pembentukan manusia yang bermartabat. Mental ini dapat dibentuk dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk memiliki konsep berpikir, mengembangkan ide dan mewujudkan ide-ide tersebut. Dimulai dari yang sederhana, ide-ide mengenai mata pelajaran atau kasus-kasus akademik, sampai kepada kasus-kasus sosial-kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga kebiasaan hidup berdisiplin terhadap semua aktivitas merupakan faktor penting pendukung kemandirian. Dengan terbiasa memiliki konsep berpikir, menciptakan dan mewujudkan ide, serta hidup berdisiplin, anak didik dibentuk menjadi manusia mandiri, cerdas, memiliki kemampuan mencipta atau menemukan iptek, yang dihargai eksistensinya dan memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun masyarakat.

Tujuan pendidikan dalam membentuk manusia berakhlak mulia mengandung suatu pengertian, bagaimana peserta didik juga mesti memiliki watak yang menghargai nilai-nilai kebajikan, kemampuan berinteraksi sosial dan menghargai eksistensi manusia lain yang juga memiliki harkat serta martabat yang sama. Proses pendidikan yang mendukung hal ini mesti mengajarkan atau menanamkan secara intensif unsur-unsur normatif dan religius yang menghargai pluralitas keyakinan masing-masing peserta didik. Dalam pelaksanaan belajar-mengajar harus diberikan pengetahuan-pengetahuan moral. Dimulai dari yang sederhana seperti kejujuran, saling mencintai dan menghargai sesama manusia, sopan santun, sampai kepada kemampuan menghargai kehidupan.

Proses pendidikan dalam perspektif membentuk peserta didik yang memiliki serta mampu menghargai harkat dan martabat orang lain, memerlukan pendekatan praktek atau penerapan dalam keseharian hidup. Pendidikan mental atau watak dengan metode mengutamakan penyampaian secara intensif materi akademik, kurang bermakna dalam kehidupan. Seperti disampaikan Baharudin dan Moh.Makin dalam buku berjudul Pendidikan Humanistik, bahwa belajar akan lebih bermakna bagi anak jika mereka mengalami apa yang dipelajari, bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi, dimana proses kegiatan belajar-mengajar dianggap selesai apabila target bahasan tuntas disajikan ke peserta didik, terbukti gagal dalam memberikan bekal untuk memecahkan persoalan riil dalam kehidupan jangka panjang, meskipun diakui bisa berhasil dalam kompetisi jangka pendek (Ar-Ruzz Media, 2007).

Penting disadari bahwa proses belajar-mengajar tidak boleh hanya menyuguhkan metode ceramah yang hanya mengutamakan proses belajar pasif. Pemberian contoh atau teladan sangat kondusif untuk menyukseskan proses ini. Jangan sampai perilaku para pendidik justru bertolak belakang dengan nilai-nilai moral yang mereka ajarkan. Sangat bertentangan bila pendidik menanamkan sikap saling mencintai dan menghargai tapi dalam mengajar serta memberi contoh guru atau orang tua menerapkan kekerasan fisik, seperti yang pernah terjadi di sebuah lembaga pendidikan di Padang.5 Sebuah ironi, bila pendidik menenamkan kejujuran, tapi dalam proses pendidikan guru mentolerir contek-menyontek atau malah kolusi dengan deal-deal untuk mengatrol nilai pelajaran.

Masyarakat Sebagai Social Control
Dalam proses pendidikan yang keberhasilannya ditentukan oleh implementasi dalam aktivitas keseharian, maka tanggung jawab pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Dua pilar penyelenggara pendidikan lain, yakni keluarga dan masyarakat sangat menentukan keberhasilannya. Keluarga sejak awal menanamkan dasar-dasar nilai kebajikan dan kehidupan, sekolah melengkapi serta mengembangkan dengan nilai-nilai yang lebih dalam, sementara masyarakat sebagai lingkungan sosial membantu keberhasilan dengan mendukung, memberi contoh, sekaligus sebagai fungsi balance atau social control. Pengertian dari fungsi ini adalah bahwa lingkungan sosial secara bersama-sama bersepakat menerapkan norma-norma kemasyarakatan dan sekaligus memiliki kepedulian untuk memberi pengertian serta menuntun ke arah yang benar bila ada anggotanya yang menyimpang dari norma-norma tersebut. Kontrol semacam ini sama saja bahwa masyarakat telah melakukan fungsi pendidikan etika-moral kepada setiap individu (baca : peserta didik) dilingkungannya.

Dengan komitmen dan kerjasama antar tiga penyelenggara pendidikan tersebut diharapkan peserta didik akan tercetak menjadi manusia yang bermartabat yang memiliki kemandirian dan sadar akan hak, kebebasan serta eksistensinya. Pada saat yang sama dia akan sadar bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat orang lain juga selalu menjadi landasan dalam berpikir maupun bertindak. Pada akhirnya tujuan pendidikan seperti diamanatkan Undang-undang diharapkan bisa terwujud. Bangsa ini dipenuhi manusia-manusia yang bermartabat dan sekaligus menghargai martabat manusia lain.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa