02/09/08

Pentingnya Sebuah Proses


(Dimuat dalam Psikologi Plus No.9/Maret 2008)
Oleh : FX. Gus Setyono*



Beberapa waktu lalu di sebuah stasiun TV swasta, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengemukakan tentang suatu program pemberantasan korupsi dan kolusi secara preventif, yaitu dengan menggalakkan apa yang disebut dengan “kantin kejujuran” di beberapa sekolah dan lembaga-lembaga pemerintah.

Sekitar akhir tahun 2007 yang lalu, di sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah, juga dilaksanakan penyusunan modul pelajaran nilai-nilai antikorupsi untuk siswa SD di Jawa Tengah. Modul pelajaran ini rencananya akan dijadikan acuan pendidikan nilai bagi Sekolah Dasar di wilayah Jawa Tengah.

Ide mendirikan “Kantin Kejujuran” berpijak dari filosofi dasar gerakan antikorupsi, yaitu memberikan pelajaran moral bahwa orang tidak boleh mengambil barang yang bukan haknya (newspaper.indonesia@gmail.com, 31/10/2007). Sedangkan modul pelajaran nilai-nilai antikorupsi disusun dengan cara menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, tanggungjawab, keberanian, kejujuran, kepedulian dan penghargaan terhadap sesama, keadilan, daya juang serta kegigihan (Suara Merdeka, 31/10/2007).

Berbagai program tersebut merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit KKN, dengan membentuk perilaku, karakter atau pola pikir sebuah “generasi baru”, yakni generasi yang tidak terkontaminasi dengan perilaku korup. Diharapkan generasi ini memiliki dasar karakter yang kuat untuk menolak dan menghindari kecurangan.

Generasi yang ada sekarang dinilai memiliki perilaku KKN yang sulit dihilangkan, sudah mendarahdaging dan merasuk ke semua sistem kehidupan masyarakat serta lembaga. Nilai-nilai moral adiluhung yang dijunjung tinggi sebagai dasar pembentukan dan penyempurnaan martabat bangsa ini, telah dihancurkan dengan perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat negara dan lembaga lainnya.

Begitu kronisnya penyakit moral ini, hingga menimbulkan pesimistis masyarakat. Banyak yang memvonis bahwa menyembuhkan penyakit moral pada generasi sekarang sudah tidak ada gunanya. Biasanya hanya menimbulkan efek jera sesaat. Semakin keras suara-suara antikorupsi dilontarkan, perilaku ini bukannya berkurang malah sebaliknya. Sehingga, ketika ada yang lantang menyuarakan pemberantasan korupsi, yang lain hanya akan mencibir. Bahkan sebuah lembaga yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan menjadi alat pemberantasan kecurangan ini justru dicap sebagai tempat ketidakadilan.

Kemudian, setelah dirasa generasi yang ada sekarang sulit diubah pola pikirnya, muncul gagasan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada sebuah generasi baru. Namun memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah. Perilaku korup sudah menjadi budaya yang terbentuk secara sistematis dalam kurun waktu lama, dengan efek yang sangat luas. Sehingga untuk menghilangkannya perlu juga merubah budaya yang sudah ada.

Pragmatisme
Salah satu penyebab mengapa budaya ini merasuk ke hampir semua struktur masyarakat adalah pola pikir dan perilaku pragmatis. Segala tujuan atau keinginan dicapai dengan cara yang serba praktis, cepat dan instan. Esensinya tidak berbeda dengan perilaku mencari pesugihan (kekayaan) dalam kebiasaan mistis. Mengharapkan harta banyak dalam waktu singkat dan dengan cara yang gampang.

Pragmatisme bisa berkembang karena manusia telah terlena dan dimudahkan dengan teknologi. Teknologi telah menjadi “dewa” bagi manusia modern. Istilah Baharuddin dan Moh.Makin (2007), pola pikir manusia telah menjurus techno-centric. Dalam batas tertentu, dampak destruktif iptek telah menundukkan manusia dengan menjadi sangat tergantung kepadanya. Semua tidak dapat lepas dari teknologi yang bisa mempersingkat jarak dan waktu untuk mencapai sebuah tujuan.

Semua mengutamakan tujuan, bukan bagaimana proses mencapainya. Hampir setiap pimpinan, pembuat keputusan dalam komunitas masyarakat dan lembaga menilai prestasi berdasarkan hasil akhir, bukan cara meraihnya.

Sepertinya banyak orang yang menikmati situasi tersebut. Mereka merasa dihargai bila memiliki kekayaan yang besar. Siswa dianggap pandai jika memperoleh nilai tinggi. Pekerja merasa dihargai bila memperoleh jabatan tinggi. Semua mengacu pada tujuan bukan menyorot pada fair atau tidaknya tujuan tersebut dicapai.

Prinsip “yang penting hasilnya” terus mempengaruhi semua sistem dan struktur kehidupan masyarakat dan lembaga. Bahkan lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab membangun moral dan karakter, juga tidak mampu menghindar dari budaya ini. Terbukti banyak siswa yang masih merasa pandai dan dihargai bila mendapat nilai tinggi – bukan bangga karena telah melewati proses perjuangan untuk meraihnya.

Karena itu, dibutuhkan sebuah penyadaran. Seharusnya manusia bisa merasa bangga, dihargai dan dihormati bila dia mampu menapaki tahap demi tahap secara fair proses pencapaian sebuah hasil. Pemahaman masyarakat mesti diluruskan agar merasa “sempurna” sebagai manusia bila dia berhasil menjalani proses dengan perjuangan, jerih lelah, menahan rasa tidak sabar, tanpa mengeluh atau marah.

Donni Koesoema dalam Pendidikan Karakter (2007) juga menyampaikan pentingnya proses pencapaian sebuah tujuan. Dalam tulisannya disebutkan, “penghargaan atas nilai kerja menentukan kualitas seorang individu”. Jadi kualitas seseorang bukan dilihat dari hasil yang dicapai, tetapi bagaimana dia mencapai hasil itu. Bagaimana kesabaran, ketekunan, kerja keras yang dilalui dalam mencapai sebuah tujuan. Kesabaran, ketekunan dan kerja keras merupakan cara yang harus dipakai dalam proses pencapaian tujuan.

Sebuah Gerakan
Sosialisasi pemahaman tentang pentingnya sebuah proses pencapaian tujuan dapat dilakukan dengan sebuah gerakan, yakni “gerakan menghargai proses”. Implementasinya dengan cara memberikan perhatian secara khusus terhadap setiap proses pencapaian tujuan. Tahap-tahap aktivitas dalam rangka mencapai sebuah tujuan harus berjalan dan dilaksanakan secara benar, beretika dan fair. Tidak ada bagian dari proses yang dilompati atau dikesampingkan. Bila unsur-unsur ini dipenuhi maka apresiasi yang tinggi harus diberikan.

Karena sebuah “gerakan”, maka pelaksanaannya mesti menyentuh semua aspek kehidupan, dan dilakukan seluruh komunitas yang ada (sosial, religius dan lembaga), dari strata masyarakat serta lembaga tertinggi hingga terendah.

Komunitas terkecil yakni lingkungan keluarga, dan juga sekolah, dapat memulai gerakan ini dengan menanamkan sejak dini betapa penting dan berharganya sebuah proses pencapaian tujuan secara benar (dan jujur), beretika serta adil. Bila keluarga dan sekolah berhasil memberikan dasar pemahaman pentingnya sebuah proses, maka gerakan ini sudah mencapai prestasi yang tinggi. Hal ini karena keluarga dan sekolah merupakan dua pilar penyelenggara pendidikan yang penting peranannya dalam pembentukan nilai.

Masyarakat sebagai komunitas yang lebih luas tinggal melengkapi dan menyempurnakan pemahaman ini melalui mekanisme kontrol sosial. Artinya, pada saat menerapkan dalam dirinya dan menyosialisasikan gerakan ini menjadi sebuah pemahaman bersama, masyarakat juga memiliki fungsi kontrol dengan memberikan penyadaran serta mengkritisi semua penyimpangan perilaku yang kontraproduktif dengan gerakan ini.

Berbagai komunitas yang ada harus berani memberikan apresiasi terhadap prestasi-prestasi anggotanya yang dicapai dengan proses yang benar. Bila yang terjadi seperti kondisi saat ini, dimana masyarakat lebih hormat dan menghargai kedudukan dan kekayaan materi tanpa melihat cara meraihnya, maka gerakan ini akan sia-sia.

Memang dibutuhkan perubahan mendasar dan radikal pada pola pikir serta pemahaman masyarakat. Hal ini karena perilaku yang ada sudah mendarahdaging dan bahkan dianggap sesuatu yang biasa. Oleh sebab itu, gerakan ini tidaklah mudah, tapi harus dapat dicapai.
Di samping itu, dalam menanamkan suatu nilai, dibutuhkan pula komitmen, konsistensi dan kesabaran. Tanpa adanya komitmen, konsistensi serta kesabaran, maka gerakan ini hanya akan bersifat sporadis yang tidak akan menuai hasil.

Bila masing-masing anggota komunitas sosial dan lembaga sudah memiliki pemahaman terhadap pentingnya sebuah proses, maka penghargaan terhadap anggota masyarakat akan terseleksi hanya kepada mereka yang benar-benar menjalankan tahapan-tahapan secara benar, adil dan beretika dalam proses pencapian tujuan. Diharapkan semua berlomba-lomba mencapai tujuan atau keinginan dengan cara yang tidak menyimpang.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa