15/06/09

GURU, MENUAI PANEN DI TENGAH BADAI


Oleh : FX. Gus Setyono

Pernyataan Presiden pada Puncak Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-63 PGRI, yang telah ditindaklanjuti dengan mengeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) terkait guru, perlu disikapi secara arif, baik oleh guru, masyarakat, maupun pemerintah sendiri.

PP yang mengatur mengenai tunjangan bagi para guru ini bertujuan meningkatkan martabat, profesionalitas dan kesejahteraan guru. Peraturan tersebut inheren dengan kebijakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, serta UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Bagi guru yang selama ini kurang diperhatikan pemerintah, pernyataan presiden tersebut tentunya sangat menggembirakan. Suara-suara agar bidang pendidikan (termasuk kesejahteraan guru) lebih diperhatikan, sudah lama dilontarkan. Bagai gayung bersambut keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 yang direspon dengan komitmen dari pemerintah untuk memenuhinya.

Bagi masyarakat lainnya, keputusan pemerintah tersebut juga mesti diterima sebagai konsekwensi dari upaya peningkatan kualitas SDM di Tanah Air. Meskipun waktunya kurang tepat, karena dikeluarkan di tengah keprihatinan akibat “badai” krisis ekonomi, PHK besar-besaran dan beratnya beban akibat tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok. Ditambah lagi dengan kekhawatiran atas keluarnya kebijakan ketenagakerjaan yang kontradiktif (seperti SKB 4 menteri).

Karena itu, pemerintah mesti bijaksana, langkah-langkah strategis perlu segera dijalankan. Jangan sampai kebijakan ini menuai kontroversi, atau terkesan ada muatan politis, apalagi mengeksklusifkan profesi guru.

Pengabdian Menjadi Profesi
Dulu, banyak kaum muda menolak menjadi guru. Alasannya,karena kehidupan guru begitu susah Perjuangan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok yang mesti pinjam uang sana-sini, sulitnya menyekolahkan anak hingga jenjang Pendidikan Tinggi, membuat setiap orang berpikir berlipat kali untuk menjadi guru.

Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa guru di Indonesia memang harus berjiwa mengabdi; mencurahkan segenap jiwa-raganya untuk kepentingan pendidikan, tanpa kompensasi yang seimbang.

Slogan “Pahlawan tanpa tanda jasa” yang membanggakan, secara samar telah mendoktrin setiap guru untuk menjadi sosok pengabdi sejati pada bidang pendidikan. Tabu bagi seorang “pahlawan” mempersoalkan penghasilan atau hak.

Sekarang situasinya berubah. Guru mulai menuai panen pada ladang yang selama ini digarap. “Ada gula ada semut”, profesi ini kemudian menjadi incaran banyak orang. Bidang pekerjaan yang dulunya dihindari, sekarang menjadi profesi yang diperebutkan

Langkah Strategis Pemerintah
Kebijakan anggaran pemerintah di tahun 2009 telah memenuhi amanat UUD 1945 Amandemen IV tahun 2002. Meskipun beresiko terhadap semakin besarnya defisit anggaran, dalam RAPBN 2009 pemerintah berkomitmen mengucurkan anggaran senilai Rp.207 trilyun untuk bidang pendidikan (Media Indonesia, 13/01/2009). Lonjakan alokasi anggaran pendidikan ini demikian besar, bila dibandingkan APBN-P 2008 sebesar Rp. 154,2 trilyun (Sunarsip, 2008).

Menurut Mendiknas, prioritas penggunaan anggaran sebesar itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik.

Jelas dalam salah satu prioritas tersebut, bahwa kesejahteraan guru dan dosen akan mendapat perhatian besar. Maka, guna menghindarkan kontroversi dan anggaran yang tidak tepat sasaran pemerintah harus mengambil beberapa langkah strategis.

Pertama, memenuhi rasa keadilan sesama guru. Peningkatan kesejahteraan ini mesti mencakup semua guru, baik yang berstatus PNS, swasta, honorer atau guru bantu dan para mantan guru (pensiunan). Karena mereka semua memiliki andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, menerapkan prinsip reward and punishment secara fair. Bila reward telah ditetapkan pemerintah, maka punishment juga mesti ditetapkan secara jelas terhadap guru-guru yang tidak profesional; tidak memiliki kapabilitas dan integritas sebagai pendidik. Tujuannya agar anggaran yang begitu besar tidak salah sasaran.

Ketiga, pemerintah perlu terus memantau efektivitas kebijakan sistem pendidikan nasional secara rutin dan berkala dengan memperhatikan juga masukan para ahli di bidang pendidikan. Bila memang hasilnya kurang efektif perlu segera dilakukan pembenahan terhadap sistem tersebut.

Keempat, penerapan pengawasan secara ketat terhadap sistem distribusi dana pendidikan, sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat. Sebab terbukti cukup banyak pelanggaran yang dilakukan oleh oknum yang terlibat dalam penyaluran dana pendidikan.

Apalagi bila membaca angka rencana penyaluran dana BOS dan BOMM (Bantuan Operasional Manajemen Mutu) yang cukup fantastis,dimana unit biaya BOS tingkat sekolah dasar (SD) untuk wilayah kabupaten sebanyak Rp.397.000,00, sedangkan untuk kota sebanyak Rp.400.000,00 per orang per tahun. Kemudian, untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP), setelah dinaikkan sebanyak 50 persen adalah sebesar Rp.570.000,00 untuk kabupaten dan Rp.575. 000,00 untuk kota per orang per tahun (Pers Depdiknas, 2008).

Besarnya dana yang akan disalurkan memunculkan potensi penyelewengan yang juga semakin besar. Karenanya dana sebesar itu mesti “dikawal” pendistribusiannya agar sampai ke tujuan dalam keadaan “utuh”. Setiap sekolah yang menerima dana mesti transparan dalam penggunaan dananya. Ingat, anggaran pendidikan didapat dari pajak yang dibayar oleh rakyat juga. Jadi, setiap sen penggunaannya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat.

Perjuangan Belum Berakhir
Akhirnya, para guru juga mesti introspeksi diri. Bila apa yang mereka tuntut sudah bisa dipenuhi mereka juga perlu take action untuk meningkatkan profesionalisme. Guru harus terus-menerus meningkatkan kemampuan diri dengan belajar pada para ahli, buku atau media pengetahuan lainnya.
Bagaimanapun guru memiliki misi mulia, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jadi, perjuangan para guru belum berakhir. Setelah panen kesejahteraan dituai, maka perjuangan mereka yang lebih berat adalah : meningkatkan kualitas diri dalam mendidik. Guru sejati pantang menghentikan perjuangannya hanya pada tataran hak, mereka juga akan memperjuangkan kewajiban moral, yakni keberhasilan dunia pendidikan di Tanah Air.***

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa