29/07/09

MENOREHKAN KESEDERHANAAN PADA LEMBARAN SEJARAH

(Introspeksi 64 Tahun Indonesia Merdeka)
lomba blog dijaminmurah.com
Oleh : FX. Gus Setyono*

“Sesungguhnya sejarah hanyalah rangkuman kejahatan dan kemalangan manusia. Sejumlah besar orang tak bersalah dan cinta perdamaian selalu lenyap di arena sandiwara yang mahaluas ini. Yang menjadi tokoh adalah orang-orang ambisius yang keji...” (Voltaire)

Barangkali terlalu berlebihan bila masyarakat berharap untuk memiliki tokoh-tokoh negara seperti impian Plato tentang kalangan“guardian”, yakni semacam anggota penguasa yang mendalami ilmu pemerintahan serta filsafat, dan mempunyai tugas utama memilih pemimpin pemerintahan.

Impian Plato (427 SM – 347 SM), dalam bukunya Republik, adalah mereka yang masuk kalangan “guardian” harus memiliki minat utama mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Disamping itu, para anggota “guardian” ini hanya diperbolehkan memiliki harta pribadi dalam jumlah terbatas dan tidak boleh punya tanah buat rumah pribadinya. Mereka menerima gaji tertentu dan tetap (dalam jumlah tak seberapa), serta tidak diperbolehkan punya emas atau perak.

Dengan persyaratan tersebut, para pejabat yang duduk dalam anggota “guardian”hanya akan memikirkan kepentingan negara dan rakyat, tanpa dikendalikan oleh kepentingan pribadi. Mereka bisa fokus pada tujuan mempersiapkan dan memilih pemimpin negara. Tidak ada lagi keinginan-keinginan untuk memperkaya diri atau mengejar ambisi pribadi.

Selain itu, secara konsisten mereka terus meningkatkan kualitas kemampuan, menggembleng diri dengan ilmu pemerintahan dan filsafat. Dengan harapan, pemimpin yang mereka pilih melalui keputusan bersama benar-benar putera terbaik dan terbijak (http://media.isnet.org/iptek/100/Plato.html)

Krisis Tata Nilai
Indonesia memang masih jauh dari utopia Republik ala Plato. Bangsa yang diharapkan diurus oleh para pejabat yang berkomitmen moral layaknya “kelas guardian”, malah dipenuhi dengan tokoh tokoh yang sama sekali bertolak belakang. Secara sistematis negara ini justru digerogoti oleh pejabat-pejabat yang berambisi mengeruk kekayaan diri dengan cara yang curang dan tidak terhormat.

Beberapa waktu lalu, rakyat yang awam mengenai panggung politik dan hukum dibuat terperangah dengan mengemukanya kasus-kasus suap dan korupsi di kalangan pejabat negara yang diungkap oleh KPK.

Nyata, bahwa harta dan jabatan lebih berhasil menundukkan para pejabat untuk menghamba padanya, daripada kepada rakyat. Ketamakan dan penyalahgunaan kedudukan telah membudaya di negara yang carut-marut oleh krisis multidimensi saat ini. Kesahajaan dan idealisme sebagai panutan menjadi sesuatu yang langka bagi para tokoh yang meyandang sebutan pejabat.

Seharusnya para pejabat merasa terhormat serta bangga karena jujur dan berakhlak mulia,meskipun harus dengan konsekwensi kehidupan yang serba sederhana. Namun mereka malah berbangga hati dan merasa terhormat menjadi orang-orang yang kaya meskipun harta yang didapat belum tentu diperoleh dari hasil keringat.

Tokoh-tokoh masyarakat yang berhasil melaju menempati kedudukan sebagai pejabat publik telah mengesampingkan esensi tugasnya, yakni melayani masyarakat. Karena terlena dengan kekuasaan, para pejabat tidak lagi memperdulikan apakah yang pernah dijanjikan dalam kampanye perlu di wujudkan ataukah tidak. Seperti mendapat kesempatan mereka memanfaatkan kursi jabatan sebagai tempat untuk meraup gengsi dan kekayaan.

Secara agresif para pejabat publik terus berpacu menimbun harta dengan cara yang culas dan korup. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat daerah hingga tokoh-tokoh nasional menjadi tayangan menggemaskan fenomena ini.

Tanpa mempertimbangkan kepatutan dirinya sebagai pemimpin, mereka memperebutkan jabatan. Yang penting bagaimana bisa berkuasa, meskipun harus menampilkan kelancungan moral dan kemunafikan yang dibalut dengan roman kewibawaan, serta untaian mutiara kata yang sarat topeng pemihakan kepada rakyat kecil. Ketimpangan antara kata dan perbuatan telah menjadi hal biasa di bumi Indonesia.

Bangsa ini selalu enjoy dengan kepalsuan dan kemunafikan. Tanpa disadari, seperti sinyalemen dari J.Kristiadi (1999), faktor kemunafikan ini yang kiranya menyebabkan krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia menjadi berlarut-larut. Krisis yang dialami Bangsa ini bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan oleh sebab yang lebih mendasar yaitu krisis tata nilai atau krisis moral.

Sinyal Keterpurukan
Tidak sedikit anggota masyarakat kita yang telah terjebak dalam sikap megalomaniak. Mereka terbuai dengan ambisi dan obsesi atas status jabatan atau kekuasaan. Akhirnya dengan cara apapun mereka berlomba untuk bisa meraih jabatan. Kekuasaan bukan lagi merupakan amanat luhur yang mesti diperjuangkan demi tujuan akhir kesejahteraan rakyat, melainkan sudah menjadi ajang perebutan gengsi dan kekayaan.

Pada sisi lain, terbentuk juga satu perilaku di masyarakat untuk mengistimewakan orang-orang yang menjadi pejabat, tidak lagi bersikap selektif dengan melihat apakah jabatan tersebut diraih dengan cara-cara yang terhormat ataukah tidak. Masyarakat dalam suatu komunitas lokal yang seharusnya menjadi basis social controll dibutakan dengan jabatan dan kekayaan seseorang.

Fenomena tersebut cukup mengkhawatirkan bila dihubungkan dengan sinisme Voltaire di awal tulisan ini. Bahwa sejarah merupakan rangkuman kejahatan, dan mereka yang menjadi tokoh adalah orang-orang ambisius yang keji. Maka,kalau pada masa pasca Proklamasi Kemerdekaan dulu beberapa pengkhianatan (pemberontakan) terhadap Bangsa ini telah tercatat dalam sejarah Orde lama, jangan-jangan era pasca Orde Baru (reformasi) juga akan dicatat sebagai era “aji mumpung” (mumpung bebas, mumpung bisa,mumpung berkuasa), yang menampilkan khazanah budaya para pejabat yang sangat spektakuler yakni : korupsi dan suap.

Lalu apalagi yang akan tertoreh pada sejarah Bangsa ini,kalau para pemimpin dan sebagian rakyatnya dikuasai oleh mental korup,serta menunduk pada harta dan kedudukan? Barangkali sinyal-sinyal yang telah muncul mengenai keterpurukan Bangsa ini akan semakin mendekati kenyataan.

Pada saat itu sejarah akan mencatat,bahwa Bangsa ini semakin hancur. Dan berarti benarlah kekhawatiran bahwa Bangsa ini sudah tidak dapat diselamatkan akibat tingkah polah, sepak terjang para pejabat era reformasi.

Karena itu, sebelum semuanya terlanjur tertoreh dalam sejarah dan membuat anak-cucu kita menghujat para pendahulunya dengan caci maki yang menyakitkan, ada baiknya segenap komponen Bangsa melakukan introspeksi diri. Sudah tepatkah segala perangai selama ini yang dengan agresif selalu memburu gengsi serta mendewakan harta benda? Tidakkah sebaiknya kita menghapus catatan sejarah ini dengan langkah yang bijaksana?

Pemimpin Bijaksana
Gagasan Socrates (470 SM – 399 SM) mengenai pemerintahan ideal dapat ditarik dalam tataran praksis kehidupan bernegara saat ini. Socrates menyampaikan bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang bijak yang dipersiapkan dengan baik.

Bangsa kita juga membutuhkan orang-orang bijak untuk menjalankan kendali pemerintahan. Yang perlu diperjelas sekarang, orang-orang bijak seperti apakah yang dibutuhkan oleh Bangsa yang kulturnya telah tereduksi oleh penyalahgunaan kemajuan IPTEK yang membawa dampak pada kapitalisme dan imperialisme budaya dari Barat ini?
Kemajuan IPTEK yang menawarkan kemudahan-kemudahan, telah membuat manusia melupakan apa yang disebut dengan kejujuran, etika, perjuangan, kebenaran dan keadilan.

Manusia berpacu meraih kesenangan, kenikmatan-kenikmatan dengan cara instan, tanpa mempedulikan lagi harkat dan martabat orang lain. Kebiasaan meraih segala sesuatu dengan metode instan ini menumbuhkan mental suka menerabas dalam meraih segala sesuatu, termasuk dalam meraih kekuasaan serta kekayaan.

Budaya yang sama sekali tidak mempunyai nilai estetika dan sukses menghantar manusia pada kebahagiaan semu yang tak terhormat adalah hedonisme, individualisme, sex bebas dan perburuan kemewahan, gengsi serta kekuasaan. Siapa yang tidak mau mengikuti budaya ini spontan tersingkir, tidak dihargai, dianggap tidak sukses dan munafik.

Mereka yang memiliki idealisme pasti merasa prihatin dan mengalami benturan-benturan dengan kepentingan manusia-manusia yang culas dan ambisius. Jiwa mereka menangis bagaikan rintihan Kahlil Gibran dalam Kelopak-kelopak Jiwa, “Memang benar, aku telah diusir dari rumah suci... Sebab jiwaku tidak mau menikmati harta orang-orang fakir miskin,jiwaku melarang diriku bersenang-senang dengan kebaikan-kebaikan rakyat yang merunduk patuh pada kebodohan”.Karena itu, Bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh yang mau memikirkan dan berbuat untuk negara serta rakyat. Masyarakat masih memimpikan para penguasa yang bukan hanya memiliki karakter kepemimpinan kuat, berwibawa dan punya ketegasan, seperti yang telah disampaikan Sayidiman Suryohadiprojo(kompas 01/11/2007). Masyarakat juga sangat menginginkan pemimpin yang tidak sekedar menguasai leadership secara teoritis, hanya mengandalkan ‘trah’ kepemimpinan dari keturunan, hanya memiliki kharisma atau ketenaran sebagai public figure, tanpa kemampuan yang memadai.

Lebih dari itu diperlukan pemimpin yang juga memiliki pribadi yang bijaksana,jujur dan sederhana. Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dengan krisis multidimensi seperti sekarang dibutuhkan tokoh-tokoh yang mampu memberi teladan serta menerapkan kejujuran dan kesederhanaan. Barangkali Bangsa ini hanya bisa diselamatkan bila seluruh komponen masyarakatnya, terutama para pemimpinnya, mau menerapkan sikap hidup yang jujur dan sederhana.

Implikasinya sangat luas. Mereka yang memiliki kebijaksanaan, kejujuran dan kesederhanaan akan mampu menguasai diri untuk tidak menyelewengkan kedudukannya. Karakter manusia seperti ini juga akan mampu menahan diri dengan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Tidak mudah terpengaruh agresivitas orang lain dalam memburu gengsi dan kekayaan.

Bila mau mencontoh salah satu tokoh (Proklamator) Bangsa ini yakni Bung Hatta, barangkali ilustrasi mengenai kesederhanaan seorang pemimpin menemui titik kesesuaiannya. Wakil presiden di masa Presiden Soekarno ini selalu memilih menahan diri dan membatasi konsumsinya sesuai kemampuan. Bahkan keinginan untuk memiliki sebuah sepatu mahal yang sebenarnya dapat diperoleh dengan gampang bila mau memanfaatkan kedudukannya waktu itu, tidak dilakukannya. Hingga akhir hayatnya Sang Proklamator memilih menggunting dan menyimpan gambar sepatu yang diimpikannya.
Sikap hidup sederhana ini perlu diupayakan penerapannya pada perilaku dan landasan berpikir bagi seluruh lapisan masyarakat, agar setiap komponen Bangsa mampu menundukkan sikap ketamakan pada harta dan ambisi pada kekuasaan. Karena sikap dan ambisi tersebut menjadi bibit bagi tumbuh suburnya mental korup dan suap.

Mental korup dan suap akan terbasmi dengan sendirinya oleh budaya kejujuran dan kesederhanaan. Para pemimpin yang jujur dan sederhana akan membawa Bangsa ini menuju kebangkitan dari keterpurukan akibat berbagai krisis yang sedang terjadi. Dengan demikian Bangsa ini akan bergerak menjauhi kehancuran menuju kesejahteraan bersama. Bangsa ini bisa diselamatkan, asal seluruh lapisan masyarakat memiliki kebijaksanaan untuk menyingkirkan ketamakan akan harta dan ambisi terhadap kekuasaan.

Semoga fakta sejarah masa reformasi ini dapat membuktikan bahwa sinisme Voltaire pada argumennya di atas adalah salah. Torehan sejarah pada zaman ini akan dihiasi dengan cerita-cerita para pemimpin dan rakyatnya yang bersih, bermoral, makmur, gemah ripah loh jinawi, dengan sikap kesederhanaan.***
*) Penulis adalah pemerhati bidang sosial-kemasyarakatan
dan pendidikan

Tidak ada komentar:

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA
Kebingungan Berbahasa